Lihat ke Halaman Asli

Pesona Kuli Angkut Pasar

Diperbarui: 11 Juni 2016   02:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk pertama kalinya saya di minta untuk melakukan observasi pada kuli angkut pasar dan saya memilih untuk mencari tahu kuli angkut beras di pasar beras Cipinang. Tepatnya saya melakukan permintaan tersebut pada Jumat, 01/04/2016. Senja saat itu menghantarkan saya dari rumah menuju pasar beras Cipinang. Saat saya tiba di pasar beras Cipinang, saya langsung menanyakan keberadaan sosok yang akan saya jadikan narasumber pada seorang bapak penjaga yang berserahgam batik. Dengan rendah hati dan bersahabat pula bapak ini menjawab dan memberitahu saya dengan menunjuk sekumpulan pekerja yang sedang duduk di teras, di depan toko-toko beras yang sudah mulai tutup.

Jujur lebih baik bertanya dengan satu orang dari pada pada beberapa orang sekaligus. Kembali lagi cara saya membangun komunikasi di uji. Akhirnya dengan percaya dirinya saya menghampiri kerumunan kelompok orang yang telah direfensikan tadi. Ucap saya “Mas-mas sekalian, saya boleh ya minta waktunya sejenak. Mau ngobrol-ngobrol iseng saja. (Sambil mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri saya) Perkenalkan, Yosep. Di situ ada banyak kuli angkut yang berkumpul. Tapi yang proaktif menjawab serta bertanya balik di antaranya ada mas Met, mas Barto, mas Ahmad, Bapak Aang dan Bapak Rojali. Tapi narasumber yang saya minta juga secara terbuka dari mereka adalah mas Barok. Beliau juga yang menjawab bersedia untuk di fokuskan dalam obrolan kami. Kami ngobrol di teras depan salah satu toko beras. Saya langsung saja menawarkan untuk memesan kopi dan gorengan, agar suasana ngobrol kami santai. Karena saya sudah bertanya bagaimana jam kerja dan libur. Saya ingin berbagi info juga bahwa mayoritas kuli angkut dipasar ini adalah pendatang dari Bogor. Jadi setiap sabtu malam mereka pulang ke kampung dan Senin subuh sekitar pk.02.00 mereka berangkat kembali ke jakarta untuk bekerja.

Saya lalu bertanya bagaimana penghasilan mereka. Mereka menjawab tidak menentu. Kami mendapat Rp 10.000 untuk 1 Ton beras atau setara dengan 20 karung beras yang berisi beban per karung adalah 50kg. Ketika saya mendengar Rp10.000 untuk 20karung beras itu, perasaan campur aduk sekali. Bayangkanlah! Mereka sampai bilang kalo kerja “setengah mati” ya yang “setengah”-nya mau mati itu kerja disini. Menurut mas Barto, rata-rata kasarnya kami bisa dapat Rp50.000 seharinya (atau setara 100 karung beras yang harus di angkut). Ada bagan unik ketika mereka malah mau berbagi kisah dengan sendirinya tanpa saya tanyakan. Seperti mereka bercerita bahwa mereka tidur di luar toko, yaitu diteras dimana saat ini kami ngobrol bersama. Mereka tidur hanya dengan beralaskan rajutan karung beras yang mereka kumpulkan. “Kalo hujan ya kami kecipratan, malah nggak bisa tidur. Karena kami hanya duduk jongkok menghindari cipratan air hujan dan akan kembali tidur jika hujan berhenti” ujar mas Met. Membayangkannya jadi ter-enyuh. Bagaimana dengan mandi? Lanjut saya. Jawab mereka, mereka mandi di toilet Mushola di pasar tersebut secara bergantian.

Lalu saya mempertanyakan fasilitas kesehatan. Mereka menjelaskan bahwa mereka tidak mendapatkan jaminan kesehatan dan mereka pun juga tidak membuat jaminan kesehatan sendiri. “Kalo kami ikut BPJS, nafkah untuk keluarga makin berkurang mas”,terang mas Barto. Saya juga mempertanyakan apakah hari raya mereka mendapatkan semacam THR? Jawab mereka ada. “Tergantung lama kerja dan bos-nya mas”,jawab pak Aang.

Saya sempat menyinggung masalah Presiden Joko Widodo saat datang ke pasar induk beras Cipinang ini kepada mereka. Menurut mas Ahmad dan pak Aang, pak Jokowi tidak bertegur sapa dengan pegawai seperti mereka. Pak Jokowi hanya berbicara dengan bos toko perihal harga beras serta persediaan saat kunjunganya.

Lalu saya kembali bertanya pada mas Barto perihal cara dia mengolah nafkah untuk istri dan anaknya. Beliau menjawab “ya uang yang diterima sebagian untuk biaya hidupnya sehari-hari. Sebagian lagi ya di simpan dan di bawa pulang saat saya menemui istri dan anak mas”. Sebenarnya di awal telah membahas bahwa pengeluaran mereka (para kuli angkut pasar ini) adalah makan, minum, rokok, kopi dan ngemil-ngemil beserta yang sudah pasti menurut penuturan pak Aang adalah jatah untuk mandor yang bisa sampai Rp20.000 setiap tokonya. Dan juga bila mereka mengalami sakit, mereka akan mebeli obat-obatan toko.

Lalu saya coba bertanya pada mereka mengenai harapan yang mereka inginkan, mas Barto menjawab “ingin Hidup Senang”. Sadar tidak sadar saat bincang-bincang kami tadi ada kebahagiaan yang saya tularkan sedikit. Ketika saya menyinggung dengan lirik lagu “hati senang walaupun tak punya uang” Langsung ditimpal mas Ahmad dengan “itukan Cuma lagu doank bang”. Dimana suasana langsung hening. Selang beberapa waktu mas Barto berkata “ya itukan bujangan mas, tidak punya uang tidak ada yang menangisi. Tapi kalo hidup berkeluarga? Kalo tidak ada uang kita ditangisi sama anak-istri”.

Tiba-tiba mas Barto bercerita, “ya kalo punya modal, ingin buka usaha sendiri”. Lalu saya menyarankan mencoba meminjam di koperasi daerahnya, karena beliau berdomisili di Bogor. Tapi mas Barto berfikir dua kali karena dia tidak mempunyai apa-apa untuk dijadikan jaminan bilamana usahanya tidak lancar dan ia tidak bisa mengembalikan pinjaman. Menurut saya ini pemikiran yang sudah memperhitungkan dampak baik-buruk bagi dirinya. Mas Barto berbagi kisah, “cita-cita mah tidak mau disini (bekerja kuli angkut beras) terus, soalnya mah kalo disini kerja setengah mati. Orang kalo pengen merasakan mati itu, setengahnya disini. Orang gimana rasanya mati gitu? setengahnya disini”. Mas Met menambahkan, “baju selalu basah karena keringat. Malam pada sakit, kalo hujan tidak bisa tidur”. Mas Barto bercerita “dulu sebelum kerja disini, ngeliat orang tidur didepan toko? Saya bilangin aja GEMBEL/ORANG GILA aja. Eh, gak taunya saya disini, ngalamin juga tidur didepan toko”. Sebenarnya saya melihat adanya rasa pesimis dari mereka disaat saya sempat menanyakan blak-blakan mengenai suka dan duka pekerjaan mereka. Ada yang menjawab “sukanya ya ngumpul-ngumpul begini aja mas. Kalo dukanya nggak usah diceritain lagi mas, karena terlalu banyak”. Lalu saya berbagi kisah saya juga dan menyemangati mereka. Saat saya menanyakan apakah mereka semua bersyukur terhadap pekerjaan yang mereka jalani saat ini? Mereka menjawab “bersyukur” dan mereka tetap ingin mendapakan perkerjaan yang lebih baik. Akhir cerita kami, saya bertanya nama mereka masing-masing.

Saya percaya, bahwa siapa pun orangnya, seberat apa pun pekerjaanya, masih terselip kebahagian atau terselip kisah bagaimana mereka harus bertahan dalam menjalani kehidupan, tanpa harus menyesali keadaan. Pesona yang saya maksud di sini adalah pembaca sendiri yang menentukan. Salam redaksi (Yose)
Kritik dan saran pembaca sangat berarti bagi saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline