Artikel ini lanjutan dari tulisan sebelumnya, yang berjudul "Ekspedisi Wisata Di Pulau Nusakambangan"
Setelah cukup puas menikmati ekowisata di Pusat Konservasi Mangrove Segara Anakan, kami kembali dipandu naik perahu. "Kita lanjut ke goa" kata pemandu wisata kami, yang tak lain adalah nahkoda perahu. "Wah ini, mesti serem" batinku saat itu. Goa sudah identik dengan kesunyian dan misteri. Kata "Nusakambangan" juga sudah terkenal serem. Nah, ini Goa yang ada di Nusakambangan. Serem maksimal!!!.
Untuk menuju goa, perahu kembali diarahkan ke aliran utama sungai Nusakambangan. Sekitar 20 menit menyusuri sungai utama, perahu kembali berbelok ke kiri. Hingga kemudian perahu berlabuh ke tepian sungai. Bukan dermaga, hanya tepian jalan cor.
Disambut Keramahan Warga Kampung Mangunjaya
Satu persatu, kami melompat turun dari perahu ke jalan cor Kampung Mangunjaya, Desa Ujung Alang. Kami mendarat tepat di halaman sebuah toko sembako. "Goanya disebelah mana pak?" Tanya saya pada pemandu wisata. "liwat kene mas" jawab pemandu wisata tersebut dengan logat bahasa Banyumasan.
Saat sebagian rombongan sibuk bertanya arah, -karena memang tak ada petunjuk arah- sebagian yang lain justru sibuk mencari toilet. Ternyata tak sedikit yang sudah "ngempet" buang air kecil sedari tadi. Celakanya, tak ada toilet umum di sana. Untunglah, penduduk desa ini sangat baik. Saat ditanya di mana letak toilet umum, mereka bilang tidak ada dan menawarkan toilet rumahnya untuk digunakan.
Dilihat dari logatnya, sepertinya penduduk desa ini bukan penduduk asli Cilacap atau Banyumas. Dari bahasanya kental Sunda, tampaknya Mereka dari Jawa Barat. Setelah ditelusuri, ternyata pulau di seberang sudah masuk wilayah Jawa Barat. Wajar saja, jika ada percampuran bahasa, wong daerah perbatasan.
Sepanjang perjalanan menuju Goa, Kami disuguhkan pemandangan penduduk desa sedang menjemur Gabah. Mulai dari anak-anak hingga kakek-Nenek, tengah sibuk meratakan hamparan gabah di atas terpal yang digelar di tanah. Ada juga yang menghamparkan gabahnya langsung di tanah, tanpa alas.
Setelah sekitar 10 menit berjalan kaki, Kami disuguhkan pemandangan yang berbeda, yaitu penyadapan bunga Kelapa. Tetesan cairan bunga kelapa tersebut digunakan untuk membuat gula merah (gula jawa) dan bisa juga dijadikan Legen (minuman).
Goa Masigit Sela, Goa Pengirim Doa
Setelah sekitar 15 menit berjalan kaki dari tempat perahu bersandar, kami tiba di semacam kolam sumber air tawar. Kabarnya, siapa yang mandi di kolam ini, akan awet muda. Di sini, mulai terasa aura mistisnya, yaitu dengan adanya pohon (seperti) Beringin besar. Kabarnya, pohon besar dengan akar menjuntai itu telah berusia lebih dari 150 tahun. Oh iya, tidak disarankan untuk menatap pohon tua tersebut selama lebih dari 15 menit. Pokoknya jangan! Sebab, ngapain juga menatap pohon selama itu. Kurang kerjaan amat sih. Mending Kita jalan lagi menuju Goa.