Lihat ke Halaman Asli

Yosep Efendi

TERVERIFIKASI

Penikmat Otomotif

Renungan Pascagerhana Matahari

Diperbarui: 10 Maret 2016   12:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="GMT di Halmahera Timur (sumber gambar: lipsus.compas.com)"][/caption]

Kita patut bersyukur atas fenomena Gerhana Matahari Total (GMT). Fenomena alam yang terbilang langka tersebut, bisa dinikmati masyarakat Indonesia secara langsung. Meskipun hanya beberapa wilayah saja yang bisa menikmati GMT secara langsung, tetapi masyarakat begitu antusias menyambutnya. Total-tidak-total, tidak penting, yang penting bisa melihat gerhana matahari.

Sebelum hari terjadinya gerhana, banyak acara yang diagendakan. Tak sedikit yang bepergian ke daerah GMT, waktu dan biaya mereka alokasikan agar dapat menyaksikan GMT secara langsung. Banyak peralatan dipersiapkan, mulai dari yang sederhana hingga yang canggih luar biasa. Ada yang sengaja membeli dan ada juga yang mampu memanfaatkan barang bekas dengan sedikit sentuhan kreatifitas.

Terjadinya GMT yang merupakan fenomena alam, membawa dampak fenomena sosial yang menarik. Fenomena sosial yang mungkin tidak dijumpai pada hari-hari biasa. Fenomena pemimpin dan rakyatnya berbaur bersama, interaksi sosial masyarakat dan kerjasama. Fenomena tersebut banyak ditemui di berbagai daerah, baik wilayah GMT maupun bukan GMT.

Di Palembang, pemimpin dan rakyatnya turun ke jalan untuk menyaksikan Gerhana. Gubernur Sumatera Selatan, Walikota Palembang dan para pejabat membaur bersama warga. Saat itu, -sedikit banyak- pasti ada interaksi diantara Mereka. Interaksi yang sungguh jarang terjadi. Apakah interaksi sosial seperti itu hanya akan terjadi lagi pada gerhana berikutnya?

[caption caption="Suasana "Nonton Bareng" GMT di Palembang (sumber gambar:palembang.tribunnews.com)"]

[/caption]

Di Yogyakarta, warga berkumpul di sekitaran Tugu untuk menyaksikan Gerhana. Meskipun Gerhana matahari di Jogja tidak total, tetapi masyarakat antusias menyaksikannya. Mereka duduk rapi di sekitaran Tugu. Tentunya bukan hanya duduk diam, ada interaksi di sana. Selain itu, Meraka pun melaksanakan Sholat Gerhana berjamaah, di sekitaran Tugu juga. Sungguh pemandangan yang menarik dan langka, sama seperti Gerhana. Apakah interaksi kebersamaan seperti itu hanya akan terjadi lagi pada gerhana berikutnya?

 [caption caption="Suasana Kebersamaan Warga di Tugu Jogja (sumber gambar: lipsus.kompas.com dan news.okezone.com)"]

[/caption]

Di Ternate, para ilmuan dari berbagai Negara berkumpul memantau GMT. Mereka bersama-sama mengamati dan meneliti dengan seksama fenomena alam Gerhana. Penelitian yang diharapkan dapat mengungkap teori-teori dan rahasia semesta, serta dapat bermanfaat bagi kehidupan alam seisinya. Bukankah ini kerjasama yang indah dan langka? Apakah interaksi sosial kerjasama seperti itu hanya akan terjadi lagi pada gerhana berikutnya?

Di berbagai sosial media, bertebaran foto dan video kebersamaan warga menyaksikan Gerhana. Bahkan itu terjadi di perumahan elit yang biasanya terkenal individualis dan menutup diri. Penghuni perumahan elit yang biasanya jarang saling berinteraksi, menjadi terlihat begitu akrab saat menyaksikan Gerhana. Mereka keluar rumah dan memadati jalan perumahan. Para orang tua berbincang dan bercanda. Anak-anak bermain dan berlarian bersama. Bahkan mereka saling berbagi dan bertukar kaca mata atau alat bantu pandang lain. Sungguh pemandangan yang indah dan langka, sama seperti Gerhana. Apakah interaksi sosial seperti itu hanya akan terjadi lagi pada gerhana berikutnya?

Gerhana selanjutnya di Indonesia diperkirakan akan terjadi lagi tahun 2023. Apakah momen-momen interaksi kepala daerah dan rakyat, kebersamaan warga, kerjasama para ilmuan dan minat warga untuk saling berbagi hanya akan terjadi lagi pada tahun 2023?

Mari, Kita renungkan bersama.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline