Lihat ke Halaman Asli

Yosep Efendi

TERVERIFIKASI

Penikmat Otomotif

Begini Potret Petani Karet Saat Ini: Meprihatinkan

Diperbarui: 7 Februari 2016   21:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

[caption caption="Suasana Penjualan Karet, "Nimbang Getah" (dok. pribadi)"][/caption]

Beberapa hari yang lalu saya sudah mengulas penyebab rendahnya harga keret dan upaya petani untuk mencari alternative usaha lain (baca: Harga Karet Terus Anjlok, Petani Karet Melirik Nanas). Kini, saya akan membahas mengenai kondisi sebenarnya para petani  dan buruh tani karet berdasarkan hasil wawancara obrolan dengan Mereka.

Sejak akhir 2015 hingga saat ini, adalah masa yang menyedihkan bagi para petani karet. Ini seperti sejarah 2008 lalu, yang terulang. Sejarah rendahnya harga karet, yang saat ini menyentuh harga Rp 6.000/Kg. Dengan harga itu, para petani dan buruh tani karet, tidak berdaya. Harga keret di tingkat petani sempat mencapai Rp 25.000/Kg pada tahun 2011. Memang harga tinggi itu bukan harga “normal”, artinya hanya beberapa bulan saja.

Harga karet biasanya pada rentang Rp 12.000 – Rp. 16.000/Kg, tergantung kondisi. Ketika harga mencapai Rp 25.000/Kg, petani seperti mendapat hadiah. Ketika itu, banyak petani yang memperbaiki rumahnya (dari dinding papan kayu menjadi tembok batu), membeli kendaraan, menambah saldo rekening tabungan dan banyak pemuda lajang yang menikah (mumpung ada “modal” nikah). Banyak “jomblo” terselamatkan!

Namun kini, per tanggal 6 Februari 2016, harga karet hanya Rp 6.000/Kg. Harga itu berlaku di kawasan Kecamatan Gelumbang, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Harga di daerah lain, yang jaraknya jauh dari Kota Palembang (Pabrik Karet), semakin rendah lagi. Karena pertimbangan biaya transportasi dan penyusutan bobot karet. Bagaimana kondisi petani karet saat ini? Mari kita cari tahu.

Kemarin, Sabtu (6/2/16) saya mendapat kesempatan untuk berbincang-bincang dengan petani karet di sebuah dusun di kawasan Kecamatan Gelumbang, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Kemarin kebetulan bertepatan dengan jadwal penjualan karet petani ke pengepul (baca: toke karet). Penjualan karet di sini dikenal dengan istilah “Nimbang Getah” (getah=karet). Penjualan karet, Nimbang Getah, dilakukan 2 kali sebulan, biasanya tiap tanggal 6 dan tanggal 21. Harga jual 2 mingguan lebih murah daripada bulanan, karena karet 2 mingguan kandungan airnya tinggi. Saat itu, ada sekitar 20 petani karet yang hendak menjual karetnya. Mereka berkumpul di salah satu rumah. Sedangkan karet Mereka tertata rapi di tepian jalan,  dengan bentuk balok ukuran kira-kira panjang 60 cm, Lebar 40 cm dan tinggi 40 cm, serta beraroma khas.

[caption caption="Balok Karet Hasil Petani (Dok. Pribadi)"]

[/caption]

Di pagi yang cerah itu, Mereka terlihat sedang asik ngobrol, sembari menunggu pembeli datang. Saya sempat berbincang-bincang dengan sebagian dari Mereka. Yang pertama, saya berbincang dengan Pak Nur, yang berusia sekitar 50 tahun. “Apa kabar pak? bagaimana hasil karet bulan ini?” pertanyaan pembuka saya. “Alhamdulillah baik, tapi kantong lagi tidak baik” jawabnya. Jawaban melompat yang mengindikasikan hasil karet sedang tidak baik. “Lho, Kenapa pak?” saya berusaha memastikan. “ini hasil karetnya sedikit, harganya malah murah terus”, “bingung bagi uangnya” jawabnya dengan ekspresi datar. “bulan ini kira-kira dapat berapa Kg pak?” pertanyaan penasaran saya.

sekitar 150kg mas, kalau cuaca normal bisa dapat 300kg” jawabnya dengan sedikit semangat. Jika Beliau dapat 150kg, berarti akan membawa uang sekitar Rp 900.000 (dengan harga Rp. 6000/Kg). “Bingung ini apa yang mau di kirim ke anak” tambahnya. Ternyata, Beliau memiliki putra yang sedang sekolah di salah satu SMA favorit di kabupaten tetangga, Ogan Ilir. Putranya tersebut menginap di asrama, karena jarak dari rumah ke sekolah cukup jauh, sekitar 35 KM. Sehingga, Beliau harus mengirim uang guna kebutuhan putranya.

Beruntung, biaya pendidikan di sini gratis. Jadi tidak perlu mengeluarkan uang untuk SPP sekolah. Uang 900ribuan itu, harus Ia bagi-bagi untuk kebutuhan sehari-hari, dikirimkan ke putra pertamanya dan uang jajan serta transport untuk putrinya yang masih duduk di bangku SMP. “tapi Alhamdulillah ya pak, masih diberi kesehatan dan rezeki” saya berusaha mengembalikan semangat. “iya mas, Alhamdulillah sehat terus” jawabnya dihiasi senyum. “bagaimana ini kalo murahnya lama, Semester ini anak saya lulus SMA dan dia minta kuliah” Beliau menambahkan. Mendengar itu, saya pun turut bersedih. Saya hanya bisa memberi doa dan semangat, “semoga saja harga karet segera normal pak”. “aamiiin, mas”tutupnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline