[caption caption="Salah Satu Ruang Publik Di Yogyakarta (Dok. Pribadi)"][/caption]
Yogyakarta, kota yang istimewa. Bukan hanya karena gelar keitimewaan yang disandang, tetapi juga karena memang banyak hal yang istimewa, mulai dari budaya, potensi wisata hingga struktur pemerintahannya. Selain itu, Yogyakarta juga dikenal sebagai Kota Pendidikan. Predikat tersebut berdampak pada banyaknya pendatang ke jogja. Pendatang tersebut didominasi oleh mahasiswa. Berdasarkan data dari Pangkalan Data Direktorat Pendidikan Tinggi, diketahui bahwa jumlah Perguruan Tinggi di Yogyakarta adalah 137. Hal itu tentu berdampak pada meningkatnya kebutuhan akan tempat tinggal untuk para pendatang yang kuliah di 137 Perguruan Tinggi. Belum lagi ditambah dengan kebutuhan tempat tinggal bagi penduduk Yogyakarta.
Berdasarkan data dari BPS, kepadatan penduduk terus meningkat dan diproyeksikan jumlah penduduk akan terus meningkat setiap tahunnya. Sehingga dapat dibayangkan bagaimana peningkatan kebutuhan tempat tinggal bagi penduduk sekitar dan pendatang. Di sisi lain, Yogyakarta juga dianggap sebagai Kota Budaya, yang memiliki banyak wilayah dan bangunan bernilai budaya yang harus dijaga dan dilestarikan. Oleh sebab itu, diperlukan pola penataan wilayah, agar kebutuhan ruang untuk tempat tinggal/ pemukiman, ruang publik, cagar budaya, ruang terbuka hijau dapat terpenuhi dengan baik dan saling sinergis.
Modernitas Pembangunan di Yogyakarta
Predikat sebagai kota Pelajar/Pendidikan dan Pariwisata seolah berusaha menggeser eksistensi ruang budaya, ruang yang dijunjung tinggi dalam Keistimewaan Yogyakarta. Tempat singgah dan tempat tinggal komersil modern tumbuh dengan pesat, mengikuti tingginya kebutuhan. Jumlah Hotel dan apartemen terus meningkat mengokohkan eksistensinya. Para kapitalis berdiri kokoh dan kemudian berjalan menelusuri kawasan Yogyakarta, kawasan yang memiliki potensi ekonomi tinggi. Potensi keuntungan ekonomi menjadi tujuan uatam, yang bahkan mengesampingkan kebutuhan akan ruang publik atau ruang budaya.
Tidak salah memang mementingkan keuntungan ekonomi. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah masyarakat sekitar bisa menikmati juga keuntungan ekonomi itu? Atau justru dirugikan. Contoh kasus, tahun lalu ada satu hotel di Yogyakarta yang diprotes warga sekitar. Protes tersebut terjadi karena sejak pembangunan hotel, banyak sumur warga sekitar yang mengering. Padalah, biasanya sumur tersebut tetap mengeluarkan air layak konsumsi, bahkan saat musim kemarau panjang. Sehingga, kuat dugaan bahwa penyebab keringnya sumur warga adalah karena hotel tersebut. Artinya, ada permasalahan dengan pembangunan hotel tersebut. Akhirnya, masyarakat dirugikan.
Selain merampas hak masyarakat atas sumber daya alam (sebagaimana contoh kasus sumur mengering), pembangunan gedung komersil secara besar-besaran berpotensi mengurangi munculnya ruang publik baru, bahkan menggusur keberadaan ruang publik yang telah ada. Setiap wilayah memang membutuhkan investasi, guna pembangunan dan pengembangan wilayah, tak terkecuali dengan Yogyakarta. Namun, setiap pembangunan hendaknya mempertimbangan aspek dampak lingkungan, baik lingkungan alam, sosial dan budaya. Dengan logo dan tagline baru, “jogja istimewa”, salah satu landasan filosofisnya adalah pembangunan yang lestari dan selaras dengan alam untuk lingkungan hidup yang lebih baik. Filosofi tersebut memberikan harapan besar masyarakat akan kelestarian lingkungan Yogyakarta.
Setiap wilayah, termasuk Yogyakarta, memang selayaknya memiliki grand design atau blue print penataan wilayah. Salah satu yang harus ada di dalamnya adalah ruang publik. Yang menjadi permasalahan di era modernitas saat ini adalah eksistensi dan kelayakan ruang publik untuk masyarakat. Modernitas pembangunan dan perluasan guna pemukiman, gedung perkantoran, hotel dan bangunan komersil lain sering menjadi penyebab tergusurnya ruang public dan potensi ruang publik baru. Padahal, keberadaan ruang publik sangat dibutuhkan dan memang bermanfaat untuk masyarakat. Selain keberadaan, kualitas dan kelayakan ruang publik pun harus diupayakan. Yogyakarta merupakan salah satu kota yang senantiasa berusaha mengupayakan keberadaan dan kelayakan ruang publik.
Ruang Publik Bernilai Budaya
Yogyakarta menyediakan cukup banyak ruang publik, baik untuk kepentingan rekreasi, edukasi, perbelanjaan, atau untuk saling berinteraksi. Di wilayah Kota Yogyakarta, ada beberapa ruang publik yang sangat populer, menjaga nilai budaya, selalu ramai pengunjung dan dapat dinikmati masyarakat bebas adalah kawasan Titik Nol Kilometer, Alun-alun Utara dan Selatan. Kawasan Titik Nol selalu ramai pengunjung, terutama saat malam hari. Biasanya, kawasan tersebut menjadi tempat beristirahat dan bersantai bagi para pengunjung setelah berwisata belanja di Malioboro. Namun, tak sedikit pengunjung yang memang sengaja langsung datang ke kawasan tersebut untuk menikmati suasana. Kawasan tersebut terdapat beberapa warisan budaya dan menumen, seperti Benteng Vredeburg, Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949, Gedung Agung dan alun-alun utara yang memiliki daya tarik, bernilai sejarah dan budaya.
[caption caption="Kawasan Sekitar Nol Kilometer Yogyakarta (Dok. Pribadi)"]
[/caption]