Pada tanggal 30 Mei 2024 Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2024 yang mengatur tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan Mineral dan Batubara. Yang kemudian ini menjadi banyak perbincangan masyarakat Indonesi.
Sebelum melihat lebih jauh kita ketahui bersama terlebih dahulu, bahwa sejarah pertamabangan di Indonesia pertam kali dimulai dengan hak konsensi pengelolaan pertama oleh Freeport dengan eksploitasi tanpa batas dan dapat diperpanjang sewaktu-waktu membuat Indonesia sudah merugi secara ekonomi dan ekologi. Bahwa yang menjadi kontroversi dalam PP No. 25 Tahun 2024 yaitu terdapat pada Pasal 83 A ayat 1 yang berbunyi; "Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, WIUPK dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan.
Jika kita melihat Undang-Undang Minerba No. 3 Tahun 2020 pasal 75 ayat 2 yang menyebutkan bahwa dalam pemberian prioritas IUPK diberikan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Di sini sudah jelas bahwa dalam UU Minerba tidak ada satupun pasal yang memberikan mandat kepada pemerintah untuk memberikan izin usaha pertambangan khusus.
Dalam teori Hans Kelsen tentang hierarki perundang-undangan bahwa norma hukum yang paling rendah harus berpegang pada norma hukum yang lebih tinggi dan kaidah hukum yang tertinggi harus berpegang pada norma hukum yang paling mendasar.
Menurut penulis yang juga merupakan mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukkum Universitas Lampung, dengan adanya wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan, ini bertentangan dengan teori Hans kelsen tentang hirarki perundang-undangan.
Juga mengesampingkan asas lex superiori derogat legi inferior yang artinya peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Kajian tentang Pasal 33 UUD 1945 selalu dijadikan dasar dalam pengelolaan pertambangan di Indonesia. Bahkan dalam isu ini selalu lebih mengedepankan keadilan ekonomi dibanding keadilan ekologis. Kaum antroposentrisme selalu menganggap bahwa manusia paling tinggi derajatnya dari mahluk lain, sementara alam dan segala isinya sekedar alat bagi pemuasan kepentingan dan kebutuhan hidup manusia.
Bahkan lebih ekstrimnya lagi kaum ini menganggap manusia sebagai penguasa atas alam yang boleh melakukan apa saja. Kegiatan pertambangan yang terjadi di Indonesia cenderung lebih banyak dampak negatifnya dibanding dampak positif.
Menurut DLHK Provinsi Banten, Dampak negatif kegiatan tambang bisa mengubah topografi dan hidrologi daerah yang ditambang kemudian hal itu akan menyebabkan erosi, pemadatan tanah dan hilangnya habitat yang mempengaruhi keseimbangan ekosistem.
Dengan adanya aktivitas tambang seringkali menjadi sumber konflik dengan masyarakat lokal.
Salah satu contohnya konflik warga Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah dengan pihak aparat kepolisian pada tahun 2019 sampai saat ini masih berlanjut. Sesuai yang dikutip dari kompas.com terjadinya konflik tersebut tidak lain ialah berawal dari rencana pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo, kemudian untuk membangun bendungan ini diperlukan pasokan batuan andesit sebagai material bangunan.
Oleh pemerintah, kebutuhan bantuan ini diambil dari desa Wadas dan akan dikeruk untuk penambangan andesit mencapai 145 hektare. Mengetahui hal ini masyarakat wadas pun menolak, karena dikhawatirkan proyek tambang ini akan merusak 28 titik sumber air warga desa.
Kegiatan pertambangan yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia sangat banyak dan tentu bukan hanya kasus wadas saja. Menurut penulis Ini seharusnya menjadi perhatian khusus pemerintah agar supaya lebih mementingkan kepentingan lingkungan dan masyarakat banyak, tidak mementingkan keuntungan ekonomi saja. Dengan diberlakukannya PP No. 25 Tahun 2024 tentang pemberian izin pengelolaan tambang kepada ormas keagamaan, penulis menyebutnya ini merupakan "bagi-bagi roti ala jokowi".