Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Istilah kebudayaan digunakan untuk menunjuk dan menekankan hasil karya fisik manusia, sekalipun hasil dan karya fisik manusia itu sebenarnya tidak lepas dari pengaruh pola berpikir (gagasan) dan pola perilaku (tindakan) manusianya (Hariyono, 1996: 44).
Paham Dasar Tradisi Kaos Nono dan Tasaeb Nono
Menurut Kamus Uab Meto yang disusun oleh Andreas Tefa Sa'u, SVD (2020), kata 'kaos' berarti melepaskan sesuatu, dan kata 'nono' berarti norma atau adat istiadat dalam sebuah suku atau sebuah marga.
Maka 'kaos nono' berarti menurunkan atau melepaskan atau membebaskan seorang manusia dari ikatan adat marganya, khususnya wanita yang menikah. Ini dilakukan dalam sebuah upacara religius tradisional terbatas atau tertutup.
Sedangkan 'Tasaeb Nono' berarti kita memberlakukan adat dari suatu suku kepada suku lain, terutama laki-laki terhadap perempuan. Antara 'Kaos Nono' dan 'Tasaeb Nono' bisa terjadi dalam suatu upacara tradisional yang sama.
Artinya setelah Kaos Nono yaitu menurunkan atau membebaskan si perempuan dari adat suku atau marganya, lalu 'Tasaeb Nono' yaitu mengenakan atau memberlakukan adat dari suku laki-laki.
Jadi adat atau tradisi 'kaos nono' dan 'tasaeb nono' sebenarnya dua praktek tradisi dalam budaya Atoin Pah Meto yang sudah terjadi sejak turun temurun.
Mengapa harus ada Tradisi Kaos Nono dan Tasaeb Nono
Tradisi atau budaya 'kaos nono' sebenarnya hadir atau dipraktekkan sebagai pemberian identitas bagi perempuan dari suku Meto atau Dawan untuk dapat menyatu dengan klen suami, baik secara jasmani mauoun rohani.
Tanpa upacara 'kaos nono' seorang perempuan yang telah menikah dengan laki-laki dari suku atau marga lain, ia tidak sepenuhnya dimasukkan ke dalam klen suami karena ia masih terikat dengan suku atau marganya sendiri.