Sejak berlangsungnya balapan MotoGP di Sirkuit Mandalika, 19-20 Maret 2022 lalu, selain para GP yang tenar juga tidak terkecuali yang menjadi bagian paling viral adalah pawang hujan si Rara Istiani Wulandari. Tiba-tiba saja sosok perempuan cantik kelahiran Papua, 22 Oktober 1983 itu tampil menjadi 'penyelamat' di sirkuit bergengsi itu. Dengan penuh percaya diri, perempuan yang kini menetap di Denpasar, Bali itu melakukan ritual berupa gerakkan dan teriakkan seolah-olah mengusir hujan pergi meninggalkan arena balapan internasional itu.
Dengan seketika, Rara menjadi viral melebihi para pembalap itu. Ia lebih terkenal pasca balapan motoGP. Ia lebih dari Miquela Oliviera yang tampil di atas panggung sebagai pemenang. Bahkan melebihi kehadiran bapak Presiden Joko Widodo yang hadir membuka balapan bergengsi itu. Atau pun para penabuh marching band yang tiada hentinya terus bermusik di tengah gerimis hujan pada acara pembukaan.
Rara yang tampil dengan sebuah profesi baru yakni pawang hujan yang mampu menghentikan turunnya hujan dari lebat menjadi rintik saja, menuai apresiasi dari jutaan netizen. Tapi tidak kurang juga tanggapan miring alias kontroversi dari bukan hanya pemimpin agama dan ilmuwan tapi juga penonton modern tentang profesi baru yang dimainkan Rara.
Berhadapan dengan fenomena baru profesi pawang hujan di tengah majunya ilmu, agama dan teknologi dewasa ini, semua orang atau paling kurang saya sendiri bertanya-tanya,"mungkinkah kita masih membutuhkan ritual seperti itu di tengah dunia seperti sekarang ini?"
Ketika kita mengagung-agungkan ilmu pengetahuan dan teknologi, ternyata kita tidak mampu berhadapan dengan alam. Tetapi Rara yang hanya seorang 'perempuan' itu tampil dengan beberapa ritual seperti, memukul tempayan, mengucapkan mantera, bahkan teriakkan bisa mempengaruhi alam. Dibutuhkan kebersatuan dengan alam. Alam dan cuaca mesti 'digauli'. Ia juga butuh 'jamahan' dan teriakan.
Dari praktek yang dibuat Rara kemudian muncul berbagai apresiasi terhadapnya. Ketika pada laman media sosial MotoGP, ada seseorang yang menaikkan postingan tentang aksi yang dilakukan Rara di tengah guyuran hujan di Sirkuit Mandalika itu dengan sebuah tulisan, "THANK YOU for stopping the rain". Ada 79.682 respon atas tulisan tersebut: 56.711 likers; 20.197 memberikan emoticon tertawa; 1.934 love; 419 wow; 314 peduli. Tetapi ada juga 73 sedih, dan 34 marah terhadap aksi itu.
Bila kita telusuri lebih jauh, ternyata mereka yang memberikan emoticon tertawa itu adalah mayoritas orang Indonesia sendiri, yang mungkin mereka menganggap profesi Rara itu entah sebagai apa. Sementara mereka yang memberi apresiasi lain itu, termasuk di dalamnya adalah orang luar dengan nama-nama asing.
Saya tidak mau masuk lebih dalam mengomentari tentang apakah ini suatu praktek budaya yang harus dipertahankan atau dihidupkan kembali di tengah kemajuan dunia seperti sekarang ini. Tetapi yang hendak saya soroti adalah sederhana saja. Bahwa ternyata praktek profesi pawang hujan itu ada juga di Sirkuit Mandalika.
Selama ini di Nusa Tenggara Timur, khususnya di daerah saya, Belu dan TTU, masih ada praktek-praktek pawang hujan yang biasanya tidak diprofesikan seperti Rara itu. Biasanya kalau para pawang hujan itu dipanggil selalu disertai dengan tertawa semacam ejekan begitu. Tetapi sejak pawang hujan di Mandalika itu, mungkin profesi pawang hujan mulai dihargai. Bisa jadi.
Ada banyak cara dan praktek untuk menunda turunnya hujan atau pun menghentikan hujan. Paling kurang yang pernah dipraktekkan oleh beberapa suku di Timor.
1. Praktek membuang pakaian dalam ke atap rumah