Pada akhir tahun 1998 terjadi pergolakan di Timor-Timur. Waktu itu Presiden Habibie memberikan dua opsi: Merdeka atau Otonomi Khusus. Setelah terjadi referendum di Propinsi ke-27 itu, kemenangan berada di pihak Pro Kemerdekaan. Artinya sebagian besar rakyat Timor Timur memilih merdeka.
Maka terjadilah pertumpahan darah di Timor Timur. Rakyat Indonesia yang ada di Timor Timur yang memilih Otonomi Khusus harus exodus ke Timor Barat. Terjadilah pengungsian besar-besaran dari Timor Timur ke Indonesia, khususnya Timor Barat. Di mana-mana ada kamp pengungsian.
Kami yang berada di Kabupaten Belu, Propinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia menjadi tujuan pengungsian. Di mana-mana ada pengungsi. Ada yang menempati bangunan milik umum seperti sekolah, gedung pertemuan/aula, kantor desa. Bahkan ada yang terpaksan harus tinggal di bawah pohon.
LSM Kesehatan
Persatuan Dharma Karya Kesehatan Indonesia (Perdhaki) yang merupakan perhimpunan para dokter, perawat dan unit-unit kesehatan Katolik merasa iba dengan keadaan kesehatan para pengungsi itu.
Maka dari Jakarta Perdhaki Pusat mengirimkan beberapa orang dokter dan perawat Katolik sebagai relawan ke Atambua. Mereka bekerja sama juga dengan Universitas Katolik Atmajaya Jakarta mengirimkan dua orang dokter dan dua perawat.
Di daerah, saya sebagai staf Perdhaki otomatis ikut terlibat sebagai relawan. Saya ditunjuk sebagai sekretaris program. Mula-mula kami mengunjungi kamp-kamp pengungsian untuk menawarkan bantuan kesehatan dengan mendirikan posko kesehatan. Mendirikan posko kesehatan itu sebenarnya tidaklah terlalu sulit, tetapi yang paling sulit sebenarnya adalah betapa sulitnya tenaga relawan masuk ke dalam kamp pengungsian.
Setiap orang yang datang selalu dicurigai. Apalagi yang datang itu ada juga unsur gereja. Mereka sangat benci karena katanya gereja terlibat di Timor-Timur sehingga pro kemerdekaan menang.
Setiap hari dan setiap saat selalu ada saja bunyi tembakan di mana-mana yang membuat warga masyarakat lokal merasa takut dan tidak nyaman.
Waktu itu, saya sebagai Sekretaris Perdhaki Wilayah terlibat mengorganisir para dokter dan perawat untuk urusan kesehatan para pengungsi. Untuk itu kami mendirikan beberapa posko kesehatan. Kami memilih kamp-kamp yang cukup banyak pengungsinya terutama ibu dan anak-anak.
Setiap hari kami masuk keluar kamp untuk melakukan pelayanan kesehatan. Kami menyisir dan menyusur kamp-kamp pengungsi untuk membagikan bahan-bahan makanan dan obat-obatan.