Sebuah Refleksi
Guru adalah sosok teladan. Di depan ia memberi contoh; di tengah ia memberi semangat atau spirit; dan di belakang ia memberi motivasi atau dorongan. Guru itu ibarat obor yang harus terus menyala untuk membakar semangat dan menerangi jalan para muridnya. Tapi bila obor itu telah pudar nyalanya, bagaimanakah ia bisa membakar, apalagi menerangi jalan para murid? Di sini, idealisme menjadi kabur, sebab kenyataannya berbicara lain.
Di Hari Guru Nasional ini, berbagai refleksi tentang GURU diberikan. Refleksi pertama-tama datang dari para guru itu sendiri. Sudah sejauhmanakah para guru menghayati profesinya sebagai panggilan? Selain itu refleksi datang dari para murid. Sejauhmana murid-murid telah memberi penghargaan yang pantas terhadap jasa para gurunya? Dan ketiga refleksi dari pemerintah atau masyarakat pemakai jasa para guru. Sejauhmana pemerintah telah memberi perhatian yang pantas terhadap pengabdian para guru di Indonesia?
Sebagai seorang yang pernah menjadi murid pada era tahun 1970-an, saya patut mengacungkan jempol kepada para guruku pada zaman itu. Merekalah orang-orang yang paling berilmu. Kehadiran seorang guru di tengah masyarakat dipandang sebagai orang berilmu sehingga muncul predikat guru adalah pelita di tengah kegelapan. Mereka mendidik kami bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan contoh dan teladan perbuatan mereka yang baik. Maka kalau guru kencing berdiri sudah pasti murid kencing berlari!
Peran Guru
Seseorang yang berprofesi guru mengambil peranan essensial dalam membantu mengembangkan peserta didiknya. Mengembangkan ilmunya, mengembangkan imannya dan mengembangkan moralnya. Ketiga hal itu tidak bisa dipisahkan dari peran seorang Guru, karena ia bertugas mendidik murid-muridnya menjadi orang yang berilmu, beriman dan bermoral.
Dalam hal ini peranan seorang guru sangat strategis. Di dalam diri seorang guru bukan hanya ada ilmu, tetapi ada juga karakter yang baik, budi pekerti dan segala yang baik. Pokoknya dunia dan masyarakat menganggap guru adalah pribadi yang sempurna. Itulah kesan peran yang kualami pada diri para guruku kala itu.
Di mana ada guru, di sana ada 'kehidupan'. Maksudnya di tempat atau di lingkungan di mana ada seorang guru yang tinggal bersama masyarakatnya, lingkungan itu sudah pasti berbeda dari lingkungan lain yang tidak ada guru. Karena sudah pasti sang guru sebagai orang pintar atau berilmu, akan membagikan ilmunya atau aura keilmuannya nampak dan menghidupkan lingkungan tersebut.
Persoalan sekarang
Sebagai seorang yang pernah hidup di era tahun 1970-an hingga 1980-an, penulis hampir tidak menemukan lagi peran guru sebagaimana dikemukakan di atas dewasa ini. Mengapa demikian? Apakah karena pengaruh perkembangan zaman? Mungkin juga, tetapi tidak pasti. Guru bukan baru semata-mata dikatakan guru ketika dia berdiri di depan kelas. Tetapi seorang guru tetaplah seorang guru di mana saja, karena sekolah yang pertama ada di dalam keluarga, lalu di tengah masyarakat. Masyarakatlah yang akan memberi predikat yang pasti bahwa ialah sosok seorang guru.
Para murid akan memberikan penghormatan dan penghargaan yang pantas kepada gurunya kalau gurunya telah melaksanakan tugasnya dengan baik. Kitab Suci mengatakan seorang murid tidaklah melebihi gurunya, kecuali kalau seorang murid telah menamatkan pelajarannya akan sama dengan gurunya (bdk. Luk 6: 40). Yang menjadi persoalan sekarang adalah sejauhmana seorang guru telah melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik dan benar sehingga membuat para muridnya terikat hati dan budi serta berutang jasa kepadanya.