Hari itu, ketika aku mengunjungi Howrah Bridge aku mencoba untuk membeli tiket kereta di Howrah Junction Station. Namun kala itu nampaknya aku belum berjodoh dengan tiket kereta yang ku inginkan, aku belum berhasil mendapatkannya. Segala kendala bercampur aduk saat itu, namun lebih baik tidak disebut sebagai kendala karena semua ini merupakan salah satu pengalaman menarik dan sebuah pelajaran juga bekal selama aku traveling di India.
Memasuki komplek stasiun kereta terbesar di India ini aku cukup kebingungan, pertama karena aku tidak tahu dimana letak loket pembelian tiket, yang kedua adalah kondisi stasiun ini sangat ramai sampai-sampai membuatku sedikit pening melihatnya, tak terhitung rasanya jumlah manusia yang berseliweran dan berserakan di atas lantai stasiun kereta tertua di India ini. Aku mencoba mencari tahu letak dari loket pembelian tiket kereta baik dari papan-papan pengumuman yang tak satupun aku mengerti arti tulisannya dan juga bertanya kepada petugas dan orang-orang yang aku temui, ternyata loket yang menjual tiket yang ingin aku beli berada di gedung lain namun masih berada di dalam komplek Howrah Station, tepatnya di New Complex. Akupun berjalan menghampiri tempat tersebut.
Sesampainya di depan loket aku disodorkan sebuah form pembelian oleh sang petugas loket untuk aku isi. Cara pengisiannya standar, sama saja dengan yang form yang biasa kita isi ketika akan membeli tiket secara langsung di stasiun-stasiun kereta di Indonesia. Setelah selesai mengisi aku mengantre untuk mengembalikan form tersebut sekaligus membayar tiket yang akan aku beli. Namun antrean tak kunjung usai, dan tak akan pernah selesai rasanya apabila aku terus menunggu di dalam barisanku, pasalnya semua orang serentak berhambur kedepan loket ketika orang yang terdahulunya telah selesai dilayani oleh sipetugas loket. Memang budaya antri di India masih bisa dibilang jauh dari kata-kata yang indah, butuh mental kuat, tubuh kuat dan bergerak cepat untuk bisa mendapatkan segala sesuatu yang menggunakan system antrean di negeri ini.
Akhirnya aku berada di depan loket, aku menyodorkan form dan sejumlah uang kepadanya. Namun pria itu tidak menerima uangnya, dia hanya mengambil form yang telah aku isi sambil berkata “Xerox”. “Apa itu Xerox?” tanyaku kepadanya. “Aku butuh salinan paspormu” ucapnya. Barulah aku mengerti bahwasanya Xerox adalah fotocopy. Kata ini diadaptasi dari merek mesin fotocopy yang popular disana, sama halnya dengan kita di Indonesia yang mengartikan Aqua adalah air mineral ataupun Honda adalah sepeda motor. Celakanya aku tidak membawa fotokopian dari pasporku, dan si petugas tidak menyediakan jasa fotokopi di loket tersebut, alhasil aku disarankan oleh si petugas untuk datang kembali esok paginya, sarannya logis karena waktu itu hari sudah malam dan loket akan segera tutup, dan konon kata sang petugas bahwa pada pagi hari loket tidak terlalu panjang antriannya, dan pertimbangan lainny adalah aku tidak tahu dimana aku harus bisa melakukan fotocopy. Dan aku menurutinya. Di malam yang tak kunjung sepi itu akhirnya aku pulang ke rumah temanku untuk menutup hari dengan beristirahat.
---
Hari sudah berganti, sinaran matahari pagi pun mulai masuk menerobos celah-celah jendela dari setiap rumah, namun suara burung gagak yang berkoar keraslah yang membangunkanku dari tidur yang sangat lelap itu. Tubuhku sudah kembali segar, dan aku sudah siap untuk melanjutkan kembali petualanganku di India. Hari ini aku berencana untuk kembali melanjutkan misi yang tertunda di hari sebelumnya, berburu tiket kereta! Aku mendapatan info dari Jojo dan Priyah bahwa aku bisa membeli tiket kereta dengan banyak cara di negeri India ini, yang pertama adalah membeli langsung di stasiun kereta, yang kedua adalah membeli secara online, yang ketiga adalah membeli di agen pariwisata dan yang lainnya adalah membeli tiket di layanan resmi pemerintah untuk turis internasional. Opsi ke dua dan terakhir nampaknya memang yang paling praktis dan aman bagi traveler dengan bajet rendah sepertiku, namun pilihan harus jatuh pada opsi terakhir karena aku tidak mempunyai kartu kredit untuk melakukan proses pembayaran apabila aku membeli tiket secara online. Akhirnya aku bersiap dan berangkat menuju ke kantor layanan khusus turis tersebut, di Kolkata sendiri namanya adalah Fairlie Place.
Sebelumnya aku ingin memperkenalkan dahulu kedua orang yang telah memberikan informasi tentang pembelian tiket kepadaku. Yang pertama Jojo, dia adalah warga lokal sekaligus tuan rumah (host) dari tempat dimana aku tinggal selama di Kolkata. Aku menggunakan jasa couchsurfing untuk mendapatkan tempat tinggal gratis di penduduk lokal. Sedangkan Priyah, dia adalah seorang traveler perempuan (22) keturunan India yang berkewarganegaraan Malaysia, dia sama seperti aku yakni sama-sama tamu (guest) dari Jojo.
Kira-kira pukul 10 waktu setempat aku sudah sampai di Fairlie Place. Kantor baru saja buka setengah jam namun antrean sudah cukup panjang. Orang-orang yang ada di dalam sini bisa dipastikan secara kasat mata berasal dari luar India semua. Namun disini antrean bukanlah suatu masalah. Disini segalanya diatur dengan rapi, masing-masing pengunjung diberi nomor urut ketika memasuki gedung ini. Kami hanya tinggal duduk manis saja di ruangan yang dilengkapi dengan pendingin ruangan (ac) ini sambil menunggu nomor urut yang kami pegang dipanggil, tanpa harus berbaris ‘rapi’ ala India, berdesakan ataupun beradu kecepatan. Aku mendapatkan nomor urut ke 58 sedangkan nomor terakhir yang sedang diproses adalah 35. Aku terpaut 23 antrian, tapi ya sudahlah, toh tempat ini sangat nyaman dan kondusif untuk menunggu. Kala itu aku duduk bersebelahan dengan Kyu, traveler asal Jepang yang merupakan penggemar berat kretek Dji Sam Soe. Kami berbincang-bincang sambil menunggu nomor antrian dari masing-masing kami dipanggil. Sesungguhnya tidak banyak yang bisa kami bagi tentang India kala itu, karena kami sama-sama baru memulai perjalanan kami di India, alhasil yang kami bicarakan adalah rencana perjalanan yang akan dilaksanakan di India. Kala itu Kyu berdua dengan adiknya berencana melanjutkan perjalanannya dari Kolkata ke Varanasi, Agra, Delhi dan kemudian ke Colombo, Srilanka. Sedangkan aku sendiri akan melanjutkan perjalananku ke Darjeeling dan belum tahu kemana lagi. Jujur perencanaan perjalananku sangatlah kacau, aku bukan arsitek itinerary yang handal sehingga aku masih belum tau tempat mana saja yang akan aku kunjungi selama perjalananku di India, yang aku baru aku rencanakan setelah Kolkata hanyalah Darjeeling saja.
Akhirnya nomorku dipanggil, aku bergegas ke konter pembelian dan duduk dihadapan sang petugas. “Mau kemana Sir?” ucap si petugas dengan sopan kepadaku. “Saya mau memesan tiket ke Darjeeling” jawabku mantap. “Tidak ada kereta langsung ke Darjeeling, stasiun terdekat adalah Stasiun SIliguri Junction atau New Jalpaiguri. Dari sana anda bisa melanjutkan dengan Jeep atau Bus Pemerintah” jelasnya. Kedua stasiun tersebut berada di kota yang sama yakni Siliguri, jadi sebenarnya mana saja yang aku pilih tidak akan jauh berbeda. “Mana yang lebih kau rekomendasikan?” tanyaku kembali kepada petugas itu, “Lebih baik New Jalpaiguri karena kereta yang berhenti disana akan tiba pagi hari, jadi anda bisa tiba di Darjeeling pada siangnya” jawabnya. Aku cukup terkesan dengan bapak ini, dia memberikan segala informasi dengan rinci dan jelas kepadaku tanpa harus menanyakannya terlebih dahulu. Akhirnya aku menuruti rekomendasi petugas loket tersebut. Aku memesan tiket kereta sleeper class yang akan berangkat lusa dari Howrah Station pada pukul 5 sore dan diperkirakan akan tiba di Stasiun New Jalpaiguri pada pukul 5 dini hari keesokan harinya. Atas keberadaan tempat seperti Fairli Place ini, aku dibuat kagum oleh pemerintah India yang masih bisa memikirkan sekaligus menyediakan kenyamanan untuk para turis di tengah-tengah carut marutnya kondisi fasilitas umum di negara ini.
Akhirnya selesai sudah misiku untuk mendapatkan tiket kereta, aku telah mendapatkannya! Aku keluar dari Fairlie Place namun tidak tahu akan melakukan apa di hari itu. Siang itu jalanan sangat sepi, berbeda sekali dengan hari-hari sebelumnya dimana jalanan tak pernah kosong dari kendaraan bahkan pejalanan kaki. Mungkin karena waktu itu adalah hari minggu dan juga long weekend karena pada hari sebelumnya (15 Agustus 2015) merupakan peringatan hari kemerdekaan India yang dijadikan libur nasional.
Cuaca yang mendung, jalanan yang sepi dan gedung-gedung yang sangat fotogenik membuatku betah berlama-lama berjalan menelusuri sudut kota Kolkata yang unik ini. Dengan leluasa pula aku bisa berjalan melenggang kesana kemari bahkan di tengah jalan raya hanya untuk sekedar mengambil gambar tanpa perlu khawatir ada yang membunyikan klakson bahkan menabrakku. Sangat sepi.