Damai di sini tak bertahan lama ketika aku mulai berjalan keluar dari komplek biara Mother Terresa House. Suara klakson yang bersahut-sahutan sudah mulai kembali terdengar nyaring. Baru saja jalan beberapa langkah aku sudah dikerubungi oleh para pengemis cilik yang memohon derma. Bukannya aku pelit atau tidak berprikemanusiaan, kala itu aku tidak memberi satu koin rupee pun kepada mereka yang mengulurkan telapak tangannya kepadaku, walau sebenarnya aku dilema antara ingin memberi atau tidak kepada mereka para pengemis cilik yang berparas tanpa dosa.
Jujur aku sungguh ingin bertanya kepada mereka semua, dimana orangtua kalian yang pemalas itu? Tega-teganya mereka "membuat" kalian hanya untuk menjadi mesin penyambung hidup. Namun percuma saja, memang sepertinya para pengemis ini sudah sangat menikmati profesinya. Aku berpikiran bahwa memberikan uang kepada pengemis itu sungguh tidak akan menyelesaikan permasalahan, itu hanya akan membuat mereka malas dan tidak mau berusaha lebih walau hanya untuk sekedar menyambung nyawa. Memberikan uang kepada pengemis ibarat memberikan motivasi untuk mereka dan orang lainnya untuk menyuburkan regenerasi dari profesi tersebut.
Aku terus mengelak dari mereka yang mengikuti aku, "No, i dont have money" ucapku, namun mereka terus mengikutiku sambil meratap dan menunjukan gestur bahwa mereka sangat lapat dan ingin makan. Sungguh sebenarnya aku sangat kesal dengan paksaan seperti ini, emosiku sebenarnya campur afuk kala itu, namun aku tak ingin menyakiti hati dan perasaan mereka yang sebenarnya sudah sangat kebal akan bentakan dari orang-orang yang mereka temui sebelum aku. Kala itu aku tertolong oleh dua orang turis dari Eropa yang juga baru keluar dari Terresa House, putus asa juga sepertinya para bocah tetsebut meminta dan memohon derma kepadaku meteka segera berpindah haluan dan sontak mengejar kedua turis berambut pirang tersebut.
Tak lama terlepas dari gerombolan bocah pengemis aku dicegat oleh seorang wanita yang kira-kira berumur 40an. Wanita tersebut berpakaian sari dengan sangat rapi sekali. Dia sangat ramah sekali menyapaku, menanyakan nama, umur dan darimana aku berasal. Kami berbincang cukup lama kala itu. Sampai akhirnya aku mendengar lonceng tanda misa akan di mulai sudah berbunyi dari dalam biara, ibu tersebut lantas bertanya kepadaku, "kamu tidak ikut Misa nak?", "Tidak bu, saya non-Katholik dan saya sedang akan menuju Howrah Bridge" jawabku. "Ibu tidak ikut misa?" Aku balik bertanya. Mungkin memang momen inilah yang wanita tersebut tunggu, atau mungkin sudah dia rencanakan. "Tadi aku datang kesini untuk doa, dan di dalam aku melihat kamu keluar, maka aku keluar.
Wajahamu sangat mirip anakku dan kamu jadi mengingatkan saya kepadanya" jawabnya panjang. Aku mulai mencium gelagat tak beres dari ucapannya, terutama ketika dia bilang tentang wajahku dan anaknya. Rasa-rasanya mustahil dan tak masuk akal wajahku yang agak oriental bisa mirip dengan wajah dari anak dari ibu tersebut yang asli India. "Dia sedang dirawat di rumah sakit, butuh uang banyak dan untuk obat dan makan" lanjut si ibu, mendengar kalimat tersebut aku langsung berjalan ke arah jalan utama dan bergegas menuju halte bus tanpa sepatah katapun, aku tahu dia menginginka uangku dengan cara membohongiku. Wanita tersebut mencoba mengikuti aku, namun lagi-lagi aku diselamatkan oleh turis lainnya yang baru saja akan masuk ke Terresa House, wanita tersebut berbelok arah dan mulai mengejar mereka. Dari jauh aku mendengar samar-samar ucapan wanita berpakaian sari tersebut, kali ini dia bilang kepada orang lain bahwa suaminyalah yang sedang dirawat di rumah sakit. Sungguh ajaib!
Sebuah modus yang sangat terstruktur cukup rapi untuk mendapatkan uang secara tidak benar, ia mencoba memainkan perasaan para calon korbannya, mencoba menggiring kita untuk merasa dekat dengan kehidupannya sebelum akhirnya dia meminta kita untuk merogoh kantong dan memberikan uang kepadanya dengan alasan kasihan dan simpati.
Memang benar banyak sekali modus untuk mendapatkan uang secara tidak halal (scam) di India, mulai dari harga barang dan jasa, sampai yang baru saja aku ceritakan diatas. Namun tak perlu kita takut dengan hal ini, apalagi sampai menjadi alergi dengan India. Kita selalu punya pilihan untuk bisa menghindari hal-hal tersebut, bertindaklah dengan cermat dan pandai-pandailah dalam memilah dan memilih segala sesuatu. India memang memegang gelar negara dengan scam terbanyak di dunia, tapi rasa-rasanya scam tidak hanya terjadi di India saja, aku yakin di tiap-tiap negara pasti ada saja yang namanya scam. Termasuk Indonesia, di Bali misalnya banyak sekali bule-bule dan turis lokal yang ditipu oleh agen wisata, supir serta orang lokal.
Contoh kecilnya, aku pernah mendapatkan informasi dari sumber yang sangat bisa dipercaya bahwasanya seringkali terjadi persekongkolan antara supir rental dengan para pegawai penyedia wahana water sport. Harga sewa water sport yang aslinya hanya 300 ribu bisa di mark up menjadi 1 juta oleh mereka, tak jauh beda dengan mark up harga sewa auto rickshaw (bajaj) yang tak masuk akal di India. Jadi intinya adalah sama saja, mau di India atau di manapun scam pasti ada. Mengapa india menjadi sangat terkenal dengan scamnya? Menurutku ini sangat wajar, jumlah penduduk India adalah 1,2 miliar, kedua terbanyak di dunia setelah China. Selain itu jumlah turis yang datang ke India juga sangatlah banyak dan sangat jauh lebih banyak apabila dibandingkan dengan jumlah turis yang datang ke Indonesia, maka wajar apabila kita mendengar lebih banyak scam terjadi di India, karena debit wisatawan dan peluang untuk melakukannya juga otomatis lebih besar.
Aku sudah di halte menunggu bus yang akan menuju ke Howrah. Howrah adalah kota tetangga dari Kolkata, kedua kota ini terpisahkan oleh sungai Hooghly yang membentang panjang sejauh 260 Kilometer dan dihubungkan oleh sebuah jembatan kantilever raksasa yang bernama Howrah Bridge. Perjalanan ke Howrah bridge dari Terresa House hanya berjarak 13 Kilometer, harusnya hanya memakan waktu sekitar dua puluh menit. Namun waktu itu aku tidak berada dalam waktu yang tepat, aku dan bus yang aku tumpangi melaju di jalan Esplanade (kawasan perkantoran dan pemerintahan Kolkata) pada jam bubar kantor. Sekitar satu jam rasanya waktu itu kami terhenti di jalan itu.
Para penumpang mengoceh, ada juga yang turun ke jalan untuk membeli makanan dan minuman lalu naik kembali ke atas bus yang sesak. Jangan tanyakan tentang klakson, dalam kondisi macetpun mereka masih membunyikan klaksonnya. Rasa-rasanya klakson mempunyai fungsi lain disini. Selain sebagai tanda peringatan sepertinya klakson juga berfungsi sebagai alat untuk berkomunikasi, aku hanya berspekulasi saja misalnya sapaan seperti hai ditandai dengan bunyi “tiin”, lalu apa kabar “tiin, tiin”, kabar baik “tiin, tiin, tiin” dan seterusnya, tak ada yang tahu kecuali mereka yang membunyikannya.
Aku bertanya kepada salah satu penumpang mengenai kemacetan di Kolkata, “disini macet setiap hari, jadi kami sudah sangat terbiasa berlama-lama di dalam bus” jawabnya. Memang nampaknya isu kemacetan adalah permasalahan yang paten terjadi di tiap kota-kota besar di Negara berkembang, tapi tak menutup kemungkinan juga terjadi di Negara maju.