Lihat ke Halaman Asli

Yosea Permana

pegawai swasta

Jejak Pertama di Kolkata (3) #IndiaTravelJournal Part 3

Diperbarui: 29 Maret 2016   22:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kira-kira waktu itu pukul 9.30 ketika aku berdiri di bawah jembatan penyebrangan berwarna merah di pagi yang cukup terik. Sedari pagi aku belum melahap makanan apapun kecuali segelas kecil teh yang aku beli di halaman bandara. Sambil mengamati jembatan dan kondisi sekitar aku memutuskan untuk mencari sarapan terlebih dahulu sebelum menghampiri rumah temanku yang berada di Kolkata. Aku menaiki tangga jembatan penyebrangan untuk menuju ke sisi lain jalan berharap ada yang menjual makanan di dekat-dekat sana. Dari atas aku bisa mengamati carut marut lalu lintas di sekitar stasiun Balygungge, Kolkata.

Disana hanya ada aku seorang dengan ransel 80 liter yang sedang ku gendong, tak ada satu orang lokal pun yang menggunakan layanan publik ini. Mereka semua menyebrang berlalu lalang di jalan raya beradu gesit dengan mobil, motor, tuk-tuk dan sahabat penyebrang lainnya. Pantas saja sebelumnya pada saat aku dalam perjalanan menggunakan volvo (bus AC) menuju Ballygungge, aku melihat papan iklan yang berisikan gambar seekor kuda zebra yang sedang berdiri di atas zebra cross dengan sematan tulisan "i'm here too".

Ini mungkin adalah sarkas dari pemerintah setempat atas kebiasaan para masyarakatnya yang tak pernah mau menyebrang di tempat yang telah disediakan, yang pasti adalah berupa sindiran dan juga ajakan agar masyarakat setempat mau menyebrang jalan dengan tertib di tempatnya yakni zebra cross dan jembatan sebrang. Jembatan yang sedang aku naiki ini cukup moderen dan ramah untuk lansia karena dilengkapi dengan eskalator dan elevator. Namun ada yang menghentakku, aku melihat sebuah label di sisi kanan elevator yang berisi tulisan "hanya untuk kelas atas, orang tua, kaum difable dan ibu hamil".

Ternyata tak semua orang bisa menggunakan kedua layanan ekstra yang ada di jembatan sebrang tersebut. Aku jadi tersadar bahwa masih ada sistem kasta yang berlaku di negara dengan populasi manusia terbanyak ke dua di dunia ini. Betapa terasanya ternyata efek dari sistem ini terhadap masyarakat India sampai-sampai hal yang aku anggap sangat remeh ini pun melibatkan perkastaan.

Aku sudah berada di sisi lain jalan, kepala ku menoleh kesana kemari berharap sang mata menemukan sebuah kedai yang menjual apapun yang bisa aku makan karena aku sudah lapar sekali. Namun sayang tak ada satupun toko yang buka kala itu, yang ada hanyalah para bapak-bapak dan ibu-ibu yang sedang mengobrol dan mengamati aku dari atas lapak kaki limanya yang tidak dioperasikan. Aku mencoba menerka-nerka apa yang sedang terjadi sampai-sampai tidak ada toko yang buka, apakah hari libur, demonstrasi atau upacara keagamaan. Aku tak tahu. Aku memutuskan mencoba menelusuri trotoar menuju ke arah keramaian.

Setengah jam sudah aku berjalan tanpa hasil, bajuku sudah sepenuhnya basah di hantam keringat yang bercucuran akibat udara panas dan beban ransel yang kubawa. Kaki lima mulai menggelar dagangannya, toko-toko pun mulai membuka rolling doornya, ternyata tak terjadi apapun yang ganjil, ternyata masyarakat di sini baru membuka tokonya pada pukul 10, cukup kesiangan bagi aku yang sudah hidup selama 23 tahun di Indonesia. Aku memutuskan untuk bertanya kepada orang-orang yang aku lewati.

"Dimana aku bisa menemukan penjual makanan?" tanyaku kepada setiap orang yang aku lewati, rata-rata orang yang aku tanya menjawab dengan menggelengkan kepala lalu menunjukkan arah kepadaku. Awal-awal aku bingung melihat gelengan kepala mereka, seakan mereka tidak tahu atau mengerti dan tunjukan arah itu adalah arahan agar aku bertanya kepada orang lain. Aku bertanya dan terus bertanya sampai akhirnya aku mendapat jawaban dari seorang bapak penjual jasa ketik di trotoar jalan barulah aku paham, dia berkata "aca" sambil menggelengkan kepala " di depan sana ada yang jual".

Akhirnya aku mengerti arti dari gelengan kepala itu yakni "aca" yang berarti "ya", gelengan kepala adalah bahasa tubuh masyarakat India untuk menyatakan ya, setuju atau mengerti. Ini sangat berbeda jauh dengan apa yang ada di habitat asalku sampai-sampai membuat aku bingung, gelengan kepala di Indonesia memiliki arti tidak atau juga penolakan, sedangkan ya biasanya dinyatakan dengan bahasa tubuh anggukan kepala. Orang-orang mulai sibuk membereskan lapaknya yang berjejer panjang di seluruh sisi trotoar, mengangkut karung-karung diatas kepalanya, mendorong gerobak dagangannya dan aku sendiri sedang jalan di antara kesibukan mereka. Aku excited melihat apa yang sedang terjadi di sekitarku, semuanya terasa istimewa walau sebenarnya hal tersebut juga biasa terjadi di pasar-pasar sekitar rumahku. Namun kali ini aku di Kolkata, aku berada di negeri orang, di tempat yang satu patah kata pun tak bisa ku mengerti itulah yang membuatnya sedikit sentimental.

Aku berjalan semakin jauh dari pasar, entah dimana kala itu aku berada namun aku ingat kala itu aku melintasi gedung-gedung tua yang terlihat sudah sangat lelah menjaga tuannya, rumah susun pemerintah yang catnya masih menyala dan sekolah-sekolah mungil yang bertingkat. Satu jam sudah aku berjalan akhirnya aku menemukan penjual makanan. Aku bertanya kepada bapak penjual makanan sambil melihat apa saja yang dia jual, "puri, sabji, samosa, omelet" jawabnya.

Aku ragu untuk mengenyam makanan dari kedai kaki lima ini karena melihat betapa kumuh dan berantakannya lapak itu. Aku memutuskan untuk mencari kedai lainnya, berharap menemukan kedai yang lebih bersih. Satu, dua dan tiga kedai sudah aku lewati begitu saja, semuanya sama saja, jorok. Aku belum berani untuk memasukan makanan yang mereka hidangkan ke dalam perut ku untuk memuaskan cacing-cacing yang sudah mulai menggila. Aku memiliki pencernaan yang cukup lemah, aku tak mau makanan di awal perjalanku inip menjadi tiket pulang lebih awal ke tanah air.

Banyak yang mengatakan bahwa India adalah sarang dari penyakit hepatitis dan diare, datang ke India seakan mengikhlaskan diri untuk menyambut dengan ramah kedua penyakit tersebut. Sebenarnya aku bukanlah orang yang resik dalam memilih makanan, aku sangat senang makanan-makanan kaki lima yang enak, murah dan walau tempatnya kumuh. Namun segala opini dan fakta yang aku lihat disini membuatku paranoid. Seluruh indra dan organ yang ada di tubuhku bergejolak dengan hebat. Semuanya berkelahi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline