dua bukit gamping ini tidak begitu luas, dikelilingi tanah endapan basal di barat dan selatan serta hamparan ignimbrit di bagian sisanya. guyuran hujan pagi tadi cukup mendinginkan hawa tanah vulkanik yang biasanya panas menggila saat siang seperti ini. Anca gumbang tergopoh-gopoh menghampiri dan membisiki kalo kakek tua pemilik tanah atau keluarga nya dari kejauhan muncul. sepertinya traumatik nya pada peristiwa "tidak mengenakan" beberapa bulan lalu itu belum tuntas.
Untunglah ternyata setelah dekat siluet kakek tua tadi hilang berganti dengan sosok gadis muda sambil memetik pohon cabai dengan gaya waspada pada keadaan sekitar. Dengan penuh keyakinan anca gumbang mulai memperkenalkan diri dan memberitahu ihwal kedatangan kami di tanah ini. bayangan cap penyerobot,penginvasi atau semacamnya adalah noda pada sosok anca gumbang ini. bayangkan, dengan roll meter di tangan kiri dan palu chisel point di tangan kanan sudah layak cap kolonialis di sematkan. maka inilah yang dihindari.
dengan tingkah malu-malu gadis ini menjelaskan bahwa dia adalah cucu dari kakek tua pemilik tanah.anca gumbang mulai tenang setelah gadis muda ini memperbolehkan keinginan kami.tak ada yang perlu ditakutkan lagi, sepertinya ini akan berjalan mulus sesuai perkiraan.
Beberapa kemudian saat lagi asyik melakukan pengukuran measuring section tanpa disadari, di punggung bukit lain gadis muda tadi tidak sendiri tapi dengan keluarganya termasuk kakek tua tersebut. ternyata hari ini adalah hari baik sepertinya bagi mereka untuk menanam. tanah lapukan gamping ini hanya cocok untuk jagung dan singkong. kakek tua itu dengan lincah membuat lubang dengan tongkat di tanah lapukan gamping ini dan dengan sigap juga cucu-cucunya menabur benih. suatu sinkronisasi yang indah.
Sebelum pamit kami memutuskan harus menemui kakek tua, bagaimanapun kerelaanya adalah isyarat untuk kelancaran kedepan. akhirnya, "peristiwa tidak mengenakan" itu terulang lagi. anca gumbang bicara lain, kakek tua ini bicara lain. satu tidak bisa bahasa bugis, satunya tidak bisa berbahasa indonesia. maka yang menjadi lingua franca nya adalah sorot mata serta desahan nafas. tapi sekarang agak mendingan, kami tidak tertuduh sebagai petugas agraria lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H