Lihat ke Halaman Asli

Pengakuan Do(s)a

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Saya mulai jarang berdoa. mendoakanmu dalam keheningan serta khusyuk yang lamat perlahan-lahan. sebaiknya kutulis sebagai memoar sebelum rasa purba ini melipir entah kemana.

kita pernah bicara dahulu tentang do’a. bahkan pernah kuakui mendoakanmu diam-diam. saya tahu ini tak menjadi misteri lagi buatmu. diujung lain,dalam diammu kutafsir adalah kegembiraan atas pengakuan dosa itu. karena telah mendoakanmu diam-diam. sekali lagi ini tak lagi jadi misteri.

olehnya ini kutulis saat engkau sedang terlelap. saya salah duga ternyata,sekarang engkau barusan berdo’a karena ini subuh. tetes-tetes air masih membekas di alis kananmu (semoga alismu asli bukan alis sulam) perlahan jatuh dipipimu yang berakhir menggenangi bibir bawah bagian kanan.

akhirnya,kita akan menjadi asing satu sama lain. lalu saling mengingat pun adalah kadang menjadi percobaan yang gagal. beruntunglah kita punya catatan, memoar, atau petisi yang lebih heroik dan revolusioner.

tentang ide revolusioner ini mungkin tidak pernah terpikirkan olehmu. sebuah pengakuan atau testimoni punya implikasi beragam. salah satunya adalah ingatan. saya mengingat 5 mei sebagai momen revolusi, bukan sebagai kelahiran Marx yang agung tapi tentang sebuah pengakuan revolusi antara kita. cukup kita berdua yang tahu. jangan beritahu siapa-siapa. kembali pada 5 mei,kelahiran karl marx itu. harusnya bukan 1 mei sebagai hari buruh tapi 5 mei. biarkan saja,toh kita tidak sefanatik itu dalam membela atau mengagungkan marx. saya hanya mencuri momen itu untuk mengingat. sebab saban hari dalam tahun itu, orang-orang sibuk dalam menyeleksi momen untuk monumen ingatan,katanya.

sebelum ini menjadi jauh. sebelum ini menjadi terlupa. dan sebelum ini menjadi ngawur biarkan saya untuk mengakhiri tulisan ini. toh, kamu tidak akan pernah membacanya. anggap saja ini memoar mubazir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline