Semangat FPI, MUI, Fadli Zon, Fahri Hamzah, Amien Rais, Aa Gym, Ahmad Dhani, dan sejumlah organisasi berlabel Islam dan perorangan yang memelopori demo 4 November 2016 untuk mengadili Basuki Tjahaya Purnama (biasa dipanggil Ahok), atas sangkaan penistaan Qur’an dan ulama terus menggelora. Demo 4 November adalah simpul semangat yang tidak hanya mendesak polisi agar memroses Ahok, kemudian diadili menurut hukum positif. Mereka malahan menghendaki agar saat itu juga Ahok dipenjara.
Bagi orang yang mengizinkan dirinya dipandu akal sehat, permintaan tersebut tentu saja lucu. Bagaimana mungkin Ahok dipenjara sebelum diproses dan dibuktikan secara hukum apakah beliau bersalah atau tidak? Bagaimana mungkin ada vonis sebelum diperiksa, didakwa, dituntut, dan diadili di pengadilan? Bagaimana mungkin sebuah sangkaan langsung diganjar dengan vonis pernjara? Mustahil, bukan? Hanya mungkin terjadi dalam pengadilan sesat atau negara pemakai sistem hukum rimba.
Sebagai negara hukum, prosesnya pasti tidak begitu. Menurut aturan hukum Indonesia, sangkaan tindak pidana apa pun harus diproses menurut hukum positip, bukan menurut keinginan siapa pun di luar kelaziman hukum. Di situ ada dua kemungkinan hasil, yaitu terbukti atau tidak terbukti bersalah
Bila terbukti menista Qur’an dan Ulama, maka wajar bila beliau diganjar hukuman sebagaimana diatur dalam ketentuan hukum. Bila tidak, tentu tak ada alasan hukum untuk menjebloskannya ke penjara seperti diinginkan para pelapor dan pendemo. Sedetik pun tidak!
Membangun nyali
Sebelum demo 04-11-2016, polisi sebenarnya sudah mulai melakukan penyelidikan dengan memanggil puluhan saksi dari berbagai latar belakang. Dengan inisiatif sendiri Ahok sudah mendatangi dan memberi keterangan kepada Bareskrim Polri. Apa yang dilakukan hari ini, 07-11-2016 merupakan rangkaian dari penyelidikan tersebut.
Bisa dipastikan beberapa hari ke depan, hasil penyeledikan polisi akan diungkap ke publik. Untuk itu, yang perlu saat ini, bukan lagi menekan atau mendesak polisi. Melainkan membangun nyali dalam diri agar hasil penyelelidikan yang mungkin tak berlanjut ke penyidikan dapat diterima dengan sikap kesatria.
Sikap mau menang sendiri harus disingkirkan dulu. Jangan hanya mau menerima putusan yang sesuai dengan keinginan, tapi tak terbukti secara hukum, atau menolak putusan yang sebaliknya meskipun sesuai dengan aturan hukum positip. Jangan ada anggapan bahwa polisi tidak adil, pilih bulu, atau polisi sudah “dibeli” Ahok seperti pernah dituduhkan oleh Ratna Sarumpaet ketika Pemerintah DKI membongkar Kalijodo.
Menurut ajaran hukum, untuk menjerat seseorang atas sangkaan tindak pidana harus memenuhi dua unsur. Pertama, unsur tindakan nyata yang dilakukan, baik seluruh atau sebagiannya dalam peristiwa pidana. Dalam hukum pidana, hal ini dikenal dengan istilah actus reus.
Tindakan tersebut perlu dibuktikan apakah merupakan tindak pidana atau bukan. Jika termasuk tindak pidana, proses selanjutnya ialah menetapkan pelaku, merumuskan dakwaan, tuntutan, dan diakhiri dengan pemeriksaan dan pembuktian di pengadilan. Jadi, prosesnya panjang. Butuh waktu, dan kecermatan menilai alat bukti agar putusanny adil. Tidak asal tangkap dan penjarakan Ahok seperti diminta massa saat demo.
Kedua, niat atau iktikad buruk yang mengawali adanya tindak pidana. Niat buruk tersebut perlu dibuktikan apakah ada atau tidak. Apakah Ahok benar-benar memiliki niat atau iktikad buruk terhadap Qur’an dan ulama sehingga mengeluarkan pernyataan menista atau tidak. Inilah yang disebut mens rea.