Lihat ke Halaman Asli

Rakyat Indonesia Perlu Berterima Kasih Kepada FPI

Diperbarui: 29 Oktober 2016   22:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banyak yang mengutuk tindakan brutal yang dilakukan anggota organisasi masyarakat bernama FPI (Front Pembela Islam) di berbagai kasus di berbagai tempat. Umumnya melihat sisi brutal atau akibat-akibat mengerikan dari tindakan mereka membakar, menganiaya, merobohkan bangunan, mengahancurkan apa saja yang dinilainya mengandung kemaksiatan seperti, pelacuran, judi, minuma keras, atau yang mengganggu iman mereka kepada Sang Pencipta.

Jarang ada yang mengakui bahwa FPI punya misi mulia. Membela Islam dari berbagai penjuru serangan. Adakah yang salah bila mereka membela Islam? Tentu tidak. Lagi pula, apa yang diperjuankan FPI sama dengan apa yang diperjuangkan negara dan agama manapun. Ajaran negara dan agama menghendaki adanya kesejahteraan rakyat, kenyamanan dalam beribadah dan lainnya. Negara dan agama juga tidak menghendaki warga atau umat melacurkan diri, berjudi, minum minuman keras, atau mengganggu iman orang lain.

Yang berbeda cuma motivasi dan caranya. Motivasi pemerintah melulu menyejahterakan masyarakat secara umum dengan hak-hak dan kewajiban yang sama tanpa pilih bulu. Dalam mencapai itu, negara punya aturan hukum yang berlaku bagi semua. Demikian pula ajaran agama. Motivasinya membangun iman umat menurut cara dan ukuran-ukuran yang berlaku dan diterima oleh para peimpin agama sah. Sedangkan motivasi dan cara FPI mereka tentukan sendiri menurut kemauan mereka sendiri, tanpa peduli pada aturan negara dan agama sah yang dibelanya.

Lalu, mengapa FPI terus dipersoalkan? Apakah kehadiran FPI tidak memiliki efek baik? Kayaknya ada tuh! Kehadiran FPI malahan perlu. Oleh sebab itu rakyat Indonesia perlu berterima kasih kepada FPI. Kok bisa? Mari kita telaah!

Pembanding

Mengategorikan sesuatu itu baik atau buruk hanya dimungkinkan bila ada pembanding. Pembanding itu muncul karena adanya tolok ukur, dan tolok ukur lahir karena ada nilai-nilai yang dianggap baik dan perlu dipertahankan, bahkan diperjuangkan karena baik baik menurut ukuran-ukuran masyarakat dan negara. Baik itu tertulis dan formal, pun tak tertulis dan informal, bahkan mungkin hanya dalam hati.

Banyak yang menyebut Ahok itu Gubernur berani, jujur, tak tedeng aling-aling karena ada gubernur konyol yang lebih, atau hanya, memikirkan bagaimana cara merampas uang negara tanpa diketahui KPK ketimbang memikirkan kemajuan rakyat. Ada yang menyebut Agus Harimurti ganteng, berwibawa, cerdas, karena banyak laki-laki dengan tampilan pas-pasan dari banyak aspeknya. Atau Sharini itu cantik dan genit karena ada artis lain yang menurut kriteria, tolok ukur anda atau umum tidak begitu.

Tolok ukur itu macam-macam. Bisa norma hukum, norma agama, adat, estetika, etika, dan moral. Keberlakuannya kontekstual. Tidak boleh dicampur aduk. Dalam kerangka bernegara, tolok ukurnya adalah hukum negara. Dalam kerangka beragama, tolok ukuranya adalah nilai-nilai agama dalam internal setiap agama. Tidaklah tepat menilai agama orang lain yang berbeda dengan tolok ukur agama sendiri. Sama tidak tepatnya bila menilai orang Batak dengan tolok ukur budaya Jawa, budaya Sunda, atau yang lain. Sebab, penilaian semacam itu, bukan saja tidak macht, tetapi menimbulkan silang paham, silang pandang, dan bentrokan Sebab, hasilnya pasti menyudutkan yang dinilai.

Tolok ukur itulah yang membuat polarisasi, sehingga muncul berbagai kategori: baik, buruk, berani, takut, malu, jujur, curang, ganteng, cantik, genit, pintar, cerdas, dan setrrusnya.

Dengan cara berpikir seperti ini, maka FPI sangat perlu. Mereka hadir dan terus perlu hadir sebagai pembanding. Kehadiran mereka merupakan cermin bagi siapa saja yang setuju pada sebuah tolok ukur umum, formal, legal, dan diterima secara umum oleh sebuah negara bernama Indonesia. Bercermin pada tindak-tanduk FPI, orang lain bisa melihat cacat, noda, atau borok di wajah sendiri. Kalau cacat, noda, dan borok itu dinilai tidak baik, ya jaga “kebersihan diri”, sering “mandi” atau palig tidak “cuci muka” pakai sabun yang sesuai. Jangan gosok pakai batu agar wajah tidak makin rusak.

Jadi, jangan menghujat penghujat atau mengutuk mengutuk. Juga jangan merusak perusak, mengobrak abrik pengobrak abrik, atau menyusahkan penyusah hidup. Kalau itu dilakukan, maka sama semua. Kategori baik dan buruk, benar dan salah, brutal dan beradab, buas dan jina, kasar dan halus jadi hilang. Yang cocok dilakukan adalah mulut penghujat perlu diplaster, si perusak dan gemar obrak abrik milik orang lain perlu diikat atau dikerangkeng dengan “plaster” dan “kerangkeng” yang terbuat dari bahan bermerk hukum. Fungsi ini harus dimainkan oleh penegak hukum: Polisi, Jaksa, dan Hakim.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline