Keyakinan polisi bahwa tersangka Jessica sebagai pelaku pembunuh Mirna dengan racun sianida sudah bulat. Kalau saja polisi sekaligus berkewenangan mengadili, sudah pasti Jessica langsung divonis hukum mati atau penjara seumur hidup atau hukuman tertentu maksimal 20 tahun. Kendati belum mengaku, polisi tak mau ambil pusing. Bagi polisi, pengakuan tersangka tidak terlalu penting. Alasannya menurut Direskrimum Polda Metro Jaya, Krishna Murti, dari 300 kasus pembunuhan dengan racun yang ada di dunia, 90 persen pelaku tak mengaku.
Untuk itu, polisi melibatkan banyak ahli. Termasuk ahli hipnoterapi dan uji kebohongan dengan lie detector. Sialnya, hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan harapan polisi. Jessica selalu lolos. Psikolog yang sudah digunakan sudah empat orang, psikologi forensik dari Mabes Polri dan dari luar juga, jelas beliau.
Melengkapi analisis para ahli itu, polisi kembali melakukan rekonstruksi tanggal 7/2/16. Lagi-lagi, pelaksanaan rekonstruksi ini tidak berjalan mulus. Tidak terjadi seperti yang diharapkan polisi. Dari 65 adegan, hanya 56 yang diakui Jessica. Sembilan adegan lainnya, versi polisi, ditolaknya karena dinilai tidak sesuai dengan kenyataan.
Polisi tentu bingung, walaupun hal tersebut tidak diakui di depan publik. Untuk menutupi hal itu, polisi kembali melakukan pemeriksaan kejiwaan Jessica. Pemeriksaan yang dimulai tanggal 11/2/2016 itu melibatkan tujuh ahli kejiwaan. Lima di antaranya ahli kejiwaan RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat, dan dua lainnya dari Mabes Polri.
Menurut berita di berbagai media, pemeriksaan kali ini bertujuan untuk mengetahui kondisi kejiwaan tersangka karena selalu bersikukuh membantah sangkaan dan fakta-fakta yang dimiliki polisi. Kali ini, polisi tidak lagi mengejar pengakuan tersangka. Polisi hanya membutuhkan profilnya dari para ahli kejiwaan.
"Kalau perbuatannya saja diingkari apalagi motifnya. Nah, sekarang untuk menjelaskan itu berbagai teknik digunakan, salah satu tekniknya pemeriksaan psikologi, psikologi forensik termasuk psikiatri forensik," ujar Krishna kepada wartawan.
Dikatakannya, setelah psikiater ahli mengeluarkan analisa kejiwaan Jessica dan hasilnya senada dengan analisa polisi bahwa Jessica memang benar membunuh Mirna, maka hasil tes kejiwaan akan dibawa ke pengadilan. Hasil itu akan dijadikan sebagai alat bukti yang diharapkan menguatkan dakwaan hakim.
"Kalau nantinya di pengadilan terpenuhi, yang bersangkutan melakukan, nanti akan dijelaskan mengapa dan bagaimananya (membunuh Mirna) oleh para ahli walaupun yang bersangkutan tidak mengatakan," tandasnya.
Menjelaskan persoalan kemengapaan barangkali bisa. Tapi, apakah para ahli itu mampu merekonstruksi detail kebagaimanaan meracuni? Apakah mereka bisa menghadirkan semua proses peracunan Mirna dalam pikirannya tanpa meleset? Lalu, apa yang dilakukan apabila hasil pemeriksaan ketujuh ahli itu tidak senada dengan analisis dan keyakinan polisi? Apakah polisi terus memaksakan kebenaran analisis dan keyakinannya bahwa Jessica adalah pelaku? Saya harap tidak!
Terpaksa Ditetapkan Jadi Tersangka
Perlu diingat bahwa pengerahan pikiran, waktu, dan tenaga cukup besar untuk membuktikan kebenaran sangkaan terhadap Jessica sangat bisa dipahami. Selain proses pembuktiannya cukup rumit, ada kaitannya dengan pendirian polisi sebelumnya. Sejak awal, polisi sudah terlanjur yakin bahwa pelaku pasti Jessica. Oleh karena itu, sekalipun banyak ahli yang meragukan alat bukti yang diajukan polisi, penyidik terpaksa menetapkan Jessica sebagai tersangka