Lihat ke Halaman Asli

Hukuman 295 Tahun bagi Akil Mochtar

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya tak mau ikut-ikutan menghujat Akil Muchtar (AM, Ketua Mahkamah Konstitusi RI/MK) karena tertangkap tangan oleh KPK. Sudah pasti bahwa ulahnya itu ditentang, bahkan dikutuk oleh banyak orang. Bukan karena korupsi semata. Posisinya sebagai Ketua MK (lembaga mahakuasa di bidang konstitusi) membuat bobot korupsi yang disangkakan padanya memberat.

Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU No 24 Tahun 2003 tentang MK menjelaskan kemahakuasaan MK. Hal itu meliputi kewenangan memutus sengketa kewenangan lembaga negara, pembubaran Parpol, memutus perselisihan hasil Pemilu, dan memberikan putusan atas pendapat DPR tentang nasib Presiden dan/atau Wakil Presiden bila diduga telah melakukan pelanggaran hukum. Putusannya atas kelima hal itu bersifat final. Sekali diputuskan, meskipun salah, tak dapat diganggu-gugat oleh siapa pun secara hukum.

[caption id="" align="alignleft" width="200" caption="Akil Mochtar (http://m.rmol.co/news)"][/caption]

Itulah yang gagal disadari oleh AM. Ia lupa atau pura-pura lupa bahwa dirinya selalu diamati, dipelototi, dan diawasi publik. Ia alpa sadar bahwa dirinya selalu dibandingkan dengan Mahfud MD, yang sukses memimpin MK sebelumnya. Ia juga lalai paham bahwa penghasilan ratusan juta perbulan plus berbagai fasilitas jabatan bukan cuma cukup, melainkan sangat mewah dan sudah menjamin kesejahteraannya.

Obsesi Bawah Sadar

Fenomena AM membuktikan bahwa korupsi terus menggurita. Para pelaku yang tampilannya keren karena jabatannya, ternyata mengecoh. Kita benar-benar dipaksa menerima anggapan bahwa korupsi mustahil dihapus. Kita hanya diberi kesempatan sekedar mencegah laju pertumbuhannya seraya memerbesar semangat dan jumlah anti korupsi dalam masyarakat.

Mengapa begitu? Korupsi ternyata sudah menjadi opsesi bawah sadar banyak orang. Lebih-lebih yang memiliki peluang karena kuasa. Korupsi bagi mereka mirip gadis muda berparas cantik atau lelaki ganteng dengan potongan tubuh ideal. Godaannya dahsyat. Apalagi bagi lelaki hidung belang atau tante kesepian. Meski sudah punya pacar, istri satu atau lebih, dilarang agama karena bukan muhrim, ditentang adat dan hukum, si hidung belang tak peduli. Ia terus memburu sang gadis. Tante kesepian juga begitu. Matanya selalu liar mengikuti gerak-gerik sang perjaka.

Nampaknya itulah yang merasuki pikiran dan hati para koruptor ketika menyelingkuhi harta yang bukan miliknya. Jadi, bukan karena kekurangan atau gaji kecil. Banyak pelaku justru berkelimahan. Tapi toh mereka tetap korupsi. Barangkali, inilah yang disebut ketiadaan rasa syukur atau bengkaknya nafsu. Rakus!

Pertanyaannya, apa masih ada jalan keluar? Ada! Untuk jangka pendek, AM segera dipecat. Dicoret dari jabatan hakim dan Ketua MK. Fakta hukum, tertangkap tangan di rumah dinas oleh KPK, sudah cukup membuktikan bahwa AM tidak layak. Jangankan ketua MK dengan segala kemahakuaannya di bidang konstitusi, sebagai hakim anggota pun tidak.

Bersamaan dengan itu, pengganti AM segera dicari hakim yang bersih, berintergritas, dan punya idealime yang sejalan dengan cita-cita pendirian MK dan ideologi pemberantasan korupsi. Sistem rekrutmennya harus lain. Bukan atas usul Pemerintah atau plihan DPR seperti biasanya. Tetapi oleh sebuah tim ahli, independen, dan berintegritas.

Calon pengganti perlu diuji dengan instrumen khusus dalam suatu proses yang transparan. Termasuk menelusuri rekam jejaknya. Dalam proses itu, publik diberi kesempatan memberikan masukan kepada tim tentang diri sang calon.

Hukuman Luar Biasa

Untuk jangka panjang, para hakim perlu mengkaji ulang penerapan pasal-pasal UU Tipikor. Jangan hanya melihat peristiwa korupsi dari sisi nilai kerugian negara. Tetapi juga dampaknya terhadap aspek-aspek kehidupan. Utamanya terhadap kepentingan masyarakat. Para hakim harus memegang teguh keputusan politik yang memosisikan korupsi sebagai extraordinary crime sebagaimana diamanatkan dalam konsideran huruf a UU No 20 Tahun 2001.

Karena extraordinary crime, maka mendakwa tersangka dengan pasal-pasal dalam UU Tipikor tidak boleh digebyah uyah. Dakwaan dan putusan, selain memertimbangkan nilai kerugian negara, juga posisi pelaku, serta dampak korupsi terhadap kepentingan masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar putusan yang diambil tidak “miring”. Tapi paralel dengan niat UU, yaitu menghukum pelaku dengan hukuman luar biasa pula (extraordinary punishment). Analoginya, penyakit kanker harus diobati dengan obat kanker, bukan obat batuk atau obat sakit perut.

Dalam kasus AM misalnya, hakim perlu ingat beberapa hal. Pertama, yang dilanggar AM adalah Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo Pasal 6 ayat (2) dan 12 c UU No 20 Tahun 2001. Kedua, nilai kerugian negara yang timbul. Ketiga, posisi pelaku sebagai Ketua MK dan dampaknya bagi membaganya, politik, serta hancurnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum.

Atas pertimbangan tersebut, hukuman yang tepat bagi AM seharusnya maksimal. Pertimbangan hakim bukan faktor peringan hukuman, tetapi pemberat. Cara seperti itulah yang paralel dengan konsideran menimbang huruf a UU No 20 tahun 2001 bahwa pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa (bold dari penulis). Pilihannya hanya dua, hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara 20 tahun. Demikian pulapidana dendanya, harus maksimal, Rp 1 miliar (Pasal 12 c)

Menghitung Hukuman

Untuk menimbulkan efek jera, ide pemiskinan koruptor perlu diterapkan kepada AM. Caranya, kerugian negara yang wajib dikembalikan tidak hanya sebesar nilai korupsi. Tetapi 10 kali atau lebih dari nilai korupsinya. Ini merupakan konsekensi tanggung jawab atas jabatannya di MK. Selain itu, seluruh harta AM yang tidak dapat dibuktikan sah-tidaknya secara hukum harus disita untuk Negara.

Jika hal tersebut tidak dapat dibayar dari seluruh nilai hartaya yang sah, maka sisanya dianggap utang dan harus dibayar. Ini, bisa disubstitusi dengan hukuman penjara, yang ditakar dengan nilai penghasilan (gaji) perbulan. Perhitungannya, U/G = HP (jumlah utang dibagi besaran gaji perbulan = jumlah bulan hukuman penjara).

Hal yang sama diberlakukan pula pada pidana denda. Misalkan gaji AM Rp 40 juta perbulan dikurangi biaya hidup keluarganya Rp 20 juta perbulan (termasuk untuk WIL-nya). Sisa Rp 20 juta dianggap gaji bersih. Inilah yang dipakai membayar pidana denda Rp 1 miliar yang disubstitusi dengan hukuman penjara. Dengan begitu pidana denda AM adalah 50 bulan penjara (Rp 1 M : 20 juta = 50 bulan). Bila diakumulasi dengan pidana pokok, maka total hukuman penjara AM adalah 20 tahun + 50 bulan pidana denda = 24 tahun 2 bulan).

Contoh yang lebih konkret adalah kasus Djoko Susilo (DS) dalam kasus Simulator SIM. Hakim mestinya menghukum DS maksimal 20 tahun. Lalu, hukuman penggati (yang dianulir hakim) sebesar Rp 32 miliar dan hukuman denda sebesar Rp 1 miliar disubstitusi menjadi hukuman penjara.

Katakanlah penghasilan DS setara dengan gaji seorang Kapolri yang berpangkat jenderal bintang empat memiliki gaji pokok sebesar Rp 4.717.500. Jika ditambah dengan tunjungan dan fasilitas lainnya, pendapatan seorang Kapolri rata-rata dalam satu bulan mencapai Rp 25 juta (Merdeka.com, 18/03/2013). Misalkan dari Rp 25 juta itu, biaya keluarga dan para gundiknya Rp 15 juta. Gaji bersih DS adalah Rp 10 juta perbulan. Gaji bersih inilah yang dijadikan takaran menghitung hukuman DS.

Jadi, kalau hukuman pengganti dan hukuman denda  DS disubstitusi menjadi hukuman penjara, maka perhitungannya adalah Rp 33 M : Rp 10 tiap bulan = 3300 bulan (275 tahun). Bila ditambahkan dengan Pidana Penjara selama 20 tahun, maka  jumlahnya menjadi 295 tahun penjara. Belum termasuk substitusi hukuman penjara dari kerugian negara secara finansial, dampak sosial, dampak kerusakan hukum, dan dampak kerusakan sikap generasi muda atas hukum akbibat perbuatannya sebagaimana diwacanakan Bambang Widjojanto beberapa waktu lalu.

Mengingat banyaknya kasus Pilkada yang ditangani AM dan selalu berpotensi adanya korupsi yang merugikan keuangan negara, maka hukuman AM bisa lebih dari DS. Tapi paling tidak sama. Pertanyaannya bagaimana jika usia AM dan DS tidak mencapai 295 tahun sejak hakim menjatuhkan vonis? Ya, tidak apa-apa. Hukumannya cukup dilaksanakan sampai akhir hayatnya dalam penjara. Sejak meninggal, hukumannya dianggap selesai. Yang lebih penting ialah adanya niat para hakim untuk menerapkan filosofi UU Tipikor dalam putusannya dan berani mengambil langkah maju untuk memiskinkan koruptor.

Saya kira inilah yang diharapkan oleh konsideran UU No 20 Tahun 2001. Tak perlu hukuman mati. Hukuman mati malah mengenakkan koruptor. Sebab dengan hukuman mati, ia tidak menderita. Ia bahkan meninggalkan harta hasil korupsi sebagai warisan bagi anak cucu. Pendekatan yang ditawarkan di atas diyakini membuat koruptor dan calon koruptor jera. Dengan demikian, hukum diyakini dapat kembali berdiri tegak. ***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline