Banyak yang bilang Jokowi belum layak jadi presiden karena: tidak tegas, bisa didikte Mega, belum berpengalaman, wawasan politik tingkat internasionalnya belum teruji.
Tapi saya bilang, belum ada Walikota yang berani melawan kebijakan Gubernur (Bibit Waluyo) karena dinilai tidak pro rakyat selain Jokowi (dan barangkali Risma terhadap Gubernur Sukarwo), belum ada Gubernur yang berani berkata tidak kepada Mendagri (ketika Mendagri Gamawan Fauzi mengusulkan pemecatan seorang Lurah Susan), selain Jokowi, belum ada pimpinan pada tingkat manapun yang langsung bereaksi sampai masuk gorong-gorong dan langsung mengambil keputusan ketika rakyat menghadapi masalah mendesak.
Didikte? He he dunia ini selalu dimbumbui dikte-mendikte, dengar- mendengar. Mencari masukan, jalan pikiran, belajar dari orang lain untuk mematangkan prinsip dan keputusan. Ketika menjadi walikota, adakah yang mendikte sehingga berani mengambil keputusan yang berseberangan dengan Gubernur Bibit Waluyo? Ketika menjadi Gubernur DKI, adakah yang mendikte sehingga Jokowi berani berkata tidak kepada Mendagri Gamawan Fauzi? Adakah yang mendikte ketika ia mengambil keputusan menjadi Capres? Banyak yang bilang didikte Megawati. He he he keputusan kan dari diri Jokowi sendiri. Jika ada yang mendikte, maka pendikte utamanya adalah : keyakinannya atas kemampuannya mengelola diri dan tekadnya membangun kepentingan rakyat! Dan itu dimungkinkan karena Jokowi sudah selesai pada tingkat dirinya sendiri.
Belum berpengalaman pada tingkat kepemimpinan nasional? He he pengalaman itu tidak datang dari langit. Tidak juga berupa paket yang sudah jadi. Pengalaman adalah mengalami. Mengalami juga tidak harus menelisik seluruh polpulasi. Pengalaman pada tingkat sampel sambil menyisir populasi adalah sebuah proses mengalami nyata yang pasti menempa diri, kemampuan, keyakinan, dan prinsip. Perhatikan semua orang sukses di dunia. Orang yang sukses pada tingkat keluarganya, sebagian besar (kalau bukan seluruhnya) adalah sukses pada tingkat tetangga, kampung, kecamatan, kabupaten/kota dan seterusnya. Mengapa? Karena inti kepemimpinan bukan pada memimpin pihak luar, tetapi memimpin pihak dalam, diri untuk memimpin sesama. Dan itu yang sudah dilakukan Jokowi.
Wawasan Politik internasionalnya kurang? Nah ini malah menyesatkan. Yang disebut wawasan politik internasional itu seolah-olah ada dan punya ukuran, nyata, dan terukur. Orang lupa bahwa dengan prestasinya memimpin Solo dan menempatkannya sebagai salah seorang Walikota terbaik di dunia adalah bukti nyata pengakuan dunia atas kemampuannya. Dan ini merupakan implikasi sebuah wawasan politik pada tingkat mana pun. Ia tidak dapat didikte untuk membangun sebuah model pembangunan bangsa dan dunia. Ia sudah memiliki model sendiri, yang diakui dunia. Itu artinya, Jokowi telah mewarnai politik dunia.
Wawasan perpolitikan itu tidak selalu dipelajari dari apa yang ada, tetapi juga dengan memberikan wawasan baru bagi dunia. Wawasan perpolitikan itu tidak harus dengan banyaknya fakta yang diketahui, tetapi justru sangat ditentukan oleh kemampuannya mengelola fakta yang ada untuk diubah menjadi sebuah keputusan dan kebijakan dalam membangun apa pun dan pada tingkat apa pun.
Sebab inti dari politik adalah kemampuan membaca keadaan, merumuskan masalah, mengidentifikasi alternatif solusi, merumuskan kebijakan, mengeksekusi kebijakan! Faktor lain, hanyalah tambahan yang bisa dilakukan sambil bekerja dalam tim. Inilah yang sudah dipraktekkan oleh Jokowi, kepemimpinan dalam tim yang melibatkan rakyat dalam pengambilan keputusan. Ingat pembangunan waduk Pluit di Jakarta, bukan? Kompas com menulis setelah 34 tahun, waduk Pluit Jadi Tonggak Jakarta. Dan itu terwujud berkat kepemimpinan jitu yang dipraktekkan oleh Jokowi. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H