Lihat ke Halaman Asli

Jokowi, antara Mulut Singa dan Mulut Buaya

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kali ini, nampaknya langkah Presiden Jokowi tidak terlalu mudah. Setelah DPR menyetujui calon tunggal Kapolri, Komjen Budi Gunawan (BG), Presiden Jokowi malah menunda pelantikannya.Kini desakan yang saling membelakangi makin marak.

Berita-berita di berbagai media cetak dan elektronik menunjukkan  sikap yang saling membelakangi itu. Apabila Presiden Jokowi melantik BG menjadi Kapolri sudah jelas DPR RI dan PDI-P bersuka cita, bahkan mungkin berpesat pora. Tak mustahil juga bila turut dibumbui cipika-cipiki.

Kurang jelas apakah sikap PDIP itu merupakan sikap seluruh anggota KIHatau hanya sebagian kecil orang yang sangat berpengaruh di kalangan PDIP dan/atau KIH atas pertimbangan kepentingan negara dan masyarakat Indonesia atau kepentingan partai, koalisi, atau malah hanya kepentingan orang yang sangat berpengaruh tersebut.

Yang pasti, kalau hal itu yang ditempuh Presiden Jokowi, maka orang yang membelakanginya sudah sangat jelas: sebagian besar masyarakat Indonesia yang menghendaki negara ini bersih dari korupsi. Orang-orang ini tersebar di seluruh Indonesia, di kota sampai desa-desa dengan berbagai latar belakangnya. Mereka ini sanga paham bahwa salah satu tema kampanye Jokowi saat Pilpres adalah pemberantasan korupsi.

Sebaliknya, jika Presiden Jokowi tidak melantik BG menjadi Kapolri, sudah pasti sebagian besar anggota masyarakat tersebut di atas, termasuk yang ada di kalangan DPR, di lembaga-lembaga pemerintahan dan swasta serta orang perseorangan di seluruh Indonesia pasti senang. Orang-orang ini umumnya atau bahkan mungkin semuanya merupakan anggota masyarakat yang memilih Jokowi ketika dilakukan Pilpres.

Pada saat yang sama, Presiden Jokowi pasti dikritik, bahkan diserang habis-habisan, oleh anggota DPR RI dan seluruh pejabat, baik di lembaga pemerintahan maupun swasta yang menghendaki pelantikan. Puncaknya bisa berupa penggunaan hak interpelasi attau hak angket oleh DPR yang dimuarakan pada pemakzulan Presiden.

Dari sini nampak bahwa pilihan apa pun yang diputuskan Presiden Jokowi sama tidak enaknya. Pilih melantik BG? Ini bak menutup mulut buaya tetapi di saat yang sama membuka mulut singa. Sebaliknya, tidak melantik BG, bak menutup mulut singa tetapi membuka mulut buaya.

"Mulut apa pun yang terbuka sama-sama merupakan ancaman."

Untuk itu, solusi yang mungkin menolong adalah Presiden Jokowi perlu memilih "mulut" yang resiko atau dampak negatifnya relatif lebih sedikit bagi bangsa dan negara. Beliau diharapkan benar-benar paham denyut nadi masyarakat demi keselamatan negara. Semua ketentuan hukum dan politik harus ditempatkan dalam dan menurut kepentingan masyarakat dan keselamatan negara. Paling sedikit, adalah kepentingan pertimbangan sebagian besar anggota masyarakat.

Pertimbangan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum perlu diukur dari kepentingan masyarakat dan keselamatan negara. Bukan hanya pertimbangan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum bagi seseorang saja.

Benar bahwa Jokowi dianggap melecehkan DPR apabila tidak melantik BG. Juga Presiden Jokowi dianggap “menjilat ludah sendiri” karena pengusulan BG kepada DPR adalah usul yang tanpa pilihan. Tapi akan dianggap lebih melecehkan nurani publik dan moral bangsa apabila BG yang notabene sudah ditetapkan menjadi tersangka kasus korupsi dan/atau gratifikasi masih dilantik menjadi Kapolri. Itu artinya Jokowi perlu berhitung baik-baik. Mau ikuti DPR tapi dibelakangi rakyat di luar anggota DPR, ataukah sebaliknya?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline