Sejak Komjen Pol Budi Gunawan (BG) ditetapkan menjadi tersangka korupsi dan gratifikasi oleh KPK, pembicaraan tentang konsep penyelenggara negara menjadi lebih intens. Pakar hukum tata negara dari Universitas Khairun, Ternate, Margarito Kamis, adalah salah seorang yang sering membahas istilah itu ketika berbiacara kepada media, debat di tv, dan terakhir ketika memberikan keterangan sebagai saksi ahli pada sidang pra peradilan BG di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu 11 Februari 2015.
[caption id="" align="aligncenter" width="448" caption="Hakim Sarpin Rizaldi (http://kabar24.bisnis.com/)"][/caption]
Salah satu pertimbangan Hakim Sarpin Rizaldi ketika memutuskan mengabulkan sebagian permohonan BG adalah istilah itu. Menurutnya, KPK tidak mempunyai wewenang menyelidik, menyidik dan menuntut tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Budi Gunawan.Sebab, Budi Gunawan pada saat menjabat sebagai Karobinkar bukan termasuk dalam penyelenggara negara ataupun penegak hukum. Karobinkar bersifat struktural dibawah Kapolri yang bekerja dalam deputi SDM. Selain itu, saat menjadi Karobinkar Mabes Piolri, Budi Gunawan masih menjabat sebagai pejabat eselon II.
Logika orang hukum, barangkali mudah menerima alasan itu. Mereka bisa memeriksa ketentuan yang mengatur kewenangan KPK. Tapi bagaimana dengan awam? Bagi awam, tidak begitu. Entah dia presiden, polisi, guru, camat, atau lainnya adalah penyelenggara negara karena pekerjaan mereka adalah semua urusan negara dengan warga negara, maka mereka disebut pejabat atau penyelenggara Negara.
Polisi Bukan Penegak Hukum?
Katakanlah BG benar bukan penyelenggara negara sebagaimana diatur dalam UU No 28 Tahun 1999 sehingga ia tidak dapat dijerat oleh KPK berdasarkan ketentuan Pasal 11 UU No 30 Tahun 2002 versi hakim Sarpi Rizaldi. Tapi beliau toh Polisi, dan Polisi itu adalah penegak hukum. Bagaiaman mungkin Hakim Sarpin bilang beliau tidak dapat dijerat dengan Pasal 11 UU No 30 Tahun 2002 atau UU No 20 Tahun 2001?
Pasal itu jelas menegaskan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.
Persoalannya, mengapa Sarpin Rizaldi tidak memertimbangkan posisi BG sebagai penegak hukum sehingga penetapannya sebagai tersangka oleh KPK sah? Dengan tidak memertimbangkan hal itu, maka ada setidaknya dua pertanyaan yang perlu dijawab oleh hakim Sarpin Rizaldi. Pertama, apakah BG berstatus sebagai polisi ketika menjabat Karobinkar Mabes Piolri pada tahun 2003-2006? Jika ya, mengapa hakim Sarpin Rizaldi menyangkalnya?
Kedua, jika pada saat itu BG berstatus sebagai polisi apakah beliau bukan penegak hukum? Ataukah dalam posisi seperti itu, seorang polisi tidak bisa dijadikan sebagai tersangka oleh KPK walaupun melakukan tindakan korupsi dan/atau gratifikasi?
Yang jelas bahwa ketentuan Pasal 11 huruf a UU KPK sudah menegaskan hal tersebut. Sekalipun BG bukan penyelenggara negara atau bukan pejabat eselon I seperti dikatakan Margarito, tapi karena faktanya beliau adalah polisi, penegak hukum, maka mau tidak mau beliau dapat dijerat oleh UU KPK. Persoalannya mengapa hal ini tidak dipertimbangkan Hakim Sarpin Rizaldi?
Belum lagi kalau dikaitkan dengan Pasal 12 huruf atau b jo Pasal 5 ayat (2) UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, makin jelas bahwa hakim Sarpi Rizaldi tidak memiliki alasan hukum yang kuat untuk menyatakan bahwa penetapan BG sebagai tersangka oleh KPK tidak sah.
Koletif= Lengkap?
Yang tak kalah aneh adalah penafsiran Profesor Romli atas ketentuan Pasal 21 ayat (5) UU KPK yang dijadikan rujukan keputusan oleh hakim. Bagi Romli istilah “bekerja secaca kolektif” diartikannya bahwa dalam mengambil keputusan pimpinan KPK harus berjumlah 5 orang. Padalah UU sendiri menegaskan dalam penjelasannya bahwa yang dimaksud dengan “bekerja secara kolektif” itu adalah bahwa setiap pengambilan keputusan harus disetujui dan diputuskan secara bersama-sama oleh Pimpinan KPK.
[caption id="" align="aligncenter" width="558" caption="Prof.DR.H.Romli Atmasasmita, SH., LL.M (http://www.tempo.co/)"]
[/caption]
Saya kira penjelasan ayat itu sudah sangat jelas. Maksudnya, dalam mengambil keputusan pimpinan KPK harus melakukannya secara bersama. Tidak boleh oleh satu orang atau sendiri-sendiri. Bisa lengkap 5 orang atau kurang tetapi tidak boleh oleh 1 orang. Kalau UU mengharuskan seperti penafsiran Profesor Romli, sudah pasti tidak hanya dirumuskan “bekerja secara kolektif” saja. Tetapi “setiap pengambilan keputusan harus disetujui dan diputuskan secara bersama-sama oleh 5 orang pimpinan KPK”.
Tampaknya, jalan pikiran tersebut disetujui DPR. Indikasinya ialah ketika masa jabatan Busro Muqqodas berakhir pada Desember 2014. Saat itu Presiden SBY sudah menyerahkan dua nama calon pengganti Busyro ke DPR. Namun, DPR memutuskan menunda dan memilihnya bersamaan pengganti empat pimpinan lainnya yang masa tugasnya berakhir pada 10 Desember 2015
Terus terang, kalau jalan pikiran Profesor Romli ini yang diikuti, maka karena pimpinannya hanya 4 orang bisa dipastikan mulai saat ini KPK tidak bisa bekerja. Kendati ada yang tertangkap tangan melakukan korupsi, pimpinan KPK yang ada tidak berwenang menetapkan statusnya sebagai tersangka.
Pertanyaan saya, inikah yang dikehendaki oleh profesor hukum, yang disebut ahli di praperadilan BG dan bersengkongkol dengan para pengacara BG? Apakah para ahli hukum di Tanah Air, termasuk Hakim Tuggal Sarpin Rizaldi sudah tak punya nalar dan nyali lagi untuk menegakkan kebenaran hukum? ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H