Apa yang selalu ditunggu-tunggu publik kembali terjadi. Presiden ke-5 RI, Megawati Sukarno Putri (MSP) berjabat tangan dengan Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyo (SBY) pada pemakaman istri tercinta, Kristiani Herawati (biasa dipanggil Ani Yudhoyono), 2 Juni 2019. Beragam sebutan media terhadap jabat tangan kedua tokoh itu. Ada yang menyebut moment bersejarah, moment menyejukkan, atau jabat tangan di balik haru pemakaman Bu Ani Yudhoyono.
Menurut catatan detik.com, setidaknya ada enam moment jabat tangan bersejarah sejak hubungan keduanya renggang akibat mundurnya SBY sebagai Menkopolhukam menjelang Pilpres 2004.
Dua kali pada tahun 2009 pada moment terkait Pilpres. Tahun 2010 satu kali pada peringatan pidato Bung Karno 1 Juni. Disusul tahun 2011 ketika MSP mendampingi suaminya Taufiq Kiemas menerima pengharagaan Bintang RI Adipradana, sekali di tahun 2012 pada saat pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soekarno, dan tahun 2013 saat wafatnya Taufiq Kiemas. Namun, semua jabat tangan tersebut terasa hambar di mata publik.
Kali ini lain. Publik menilai ada sesuatu yang lain. Jabat tangannya bukan sekedar jabat tangan, tetapi disertai kehangatan yang terbaca dari gestur, ekspresi wajah dan senyum. Melebihi jabat tangan sahabat yang sudah lama tak bertemu. Ada misteri yang tak terungkap kepada publik tetapi mereka tahu.
Bagi publik peristiwa tersebut tampak istimewa. Publik berharap peristiwa itu merupakan indikasi cairnya hubungan keduanya yang tampak sangat jauh, kaku, dingin, bahkan tegang selama belasan tahun.
Menstabilkan suhu politik
Mengapa hal tersebut sangat diharapkan? Pertama, di berbagai kesempatan, baik publik maupun para tokoh politik dan akademisi kerap menyarankan agar keduanya bertemu. Ada keyakinan bahwa pertemuan dua tokoh itu dapat menstabilkan suhu politik yang terus berfluktuasi dan sempat memuncak usai Pemilu tahun 2014.
Pasalnya, pada Pemilu tersebut Jokowi-JK terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden, tetapi yang lebih berpengaruh di Parlemen adalah Koalisi Merah Putih (KMP) di bawah pimpinan Gerindra. Sedangan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) di bawah pimpinan PDI sebagai pemenang Pemilu tak berkutik. Keadaan tersebut sempat membuat suasana politik tak menentu. Anggota DPR bersitegang beberapa bulan.
Masih segar dalam ingatan publik betapa kacaunya DPR ketika memutuskan susunan kepemimpinan DPR dengan voting. KIH dan KMP bak harimau dan singa yang tengah berhadap-hadapan. Lewat voting, posisi Ketua DPR diduduki Setya Novanto (Golkar). Empat wakilnya tediri atas Agus Hermanto (Demokrat), Taufik Kurniawan (PAN), Fadli Zon (Gerindra), dan Fahri Hamzah (PKS). PDIP sebagai pemenang Pemilu tersingkir.
KIH jelas tidak terima. Suhu politik pun mamanas. Lima fraksi yang tergabung dalam KIH (PDIP, Hanura, PKB, NasDem, dan PPP) membuat pimpinan DPR tandingan. Yang dipilih menjadi ketua adlaah Ida Fauziah (dari PKB). Wakilnya terdiri atas Effendi Simbolon (PDIP), Dossy Iskandar (Hanura), Syaifullah Tamliha (PPP), dan Supiadin Aries (Nasdem).