Lihat ke Halaman Asli

Yosafati Gulö

Wiraswasta

Kemungkinan Tindakan Nekat Prabowo dan Kegagalannya yang Berakhir di Ruang Isolasi

Diperbarui: 20 Mei 2019   13:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Prabowo Subianto-suara.com

Tanggal  22 Mei 2019 sesungguhnya acara puncak Pesta Demokrasi dalam Pemilu 2019. Semestinya semua gembira, senang, karena Pemilu serentak yang sangat berat itu dapat dilaksanakan berdasarkan ketentuan hukum. Tidak ada alasan untuk was-was maupun takut.

Untuk bersedih? Jelas, ya! Kesedihan mendalam keluarga yang ditinggalkan oleh ratusan putugas Pemilu yang meninggal dalam menjalankan tugas adalah faktor utama. Kesedihan orang yang tak terpilih pada posisi yang diincar juga perlu mendapat rasa empati.

Namun, rasa sedih tidak seharusnya menimbulkan perasaan was-was. Pengumuman hasil Pemilu bukanlah ancaman, menyeramkan, atau menakutkan.

Anehnya, rasa was-was itu terus menghantui masyarakat. Mengapa? Setidaknya ada tiga hal pokok penyebab. Pertama, sikap keras Paslon 02 untuk menolak hasil Pilpres. Kedua, adanya seruan-seruan people power yang belakangan isitilahnya diganti dengan Gerakan Kedaulatan rakyat, yang diklaim sebagai satu-satunya cara yang patut dan terpuji menyikapi hasil Pemilu. Ketiga, kabar tentang surat wasiat yang ditulis Prabowo menjelang tanggal 22 Mei.

Kemungkinan besar anggota masyarakat berpikir terlalu jauh tentang sikap Prabowo dan akibat yang bisa muncul bila ketiga hal itu dikonversi menjadi tindakan menjelang, pada saat, maupun setelah tanggal 22 Mei.

Untuk mencegah ketakutan berlebihan, mari kita analisis apa yang mungkin dilakukan oleh Prabowo dan para pendukung Paslon 02 serta resiko yang muncul sebagai konsekuensi logis dari setiap tindakan tersebut.

Menolak hasil Pilpres

Kalau Prabowo terus konsisten tidak mau menerima hasil Pilpres, maka keabsahan hasil Pemilu tidak susut. Tidak bermasalah seara hukum. Hasil Pemilu, termasuk Pilpres tetap sah. Ini sudah berkali-kali dikemukakan para ahli hukum di berbagai kesempatan.

Ini sudah diatur pada Pasal 475 ayat (1) UU Pemilu. Intinya, jika terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Paslon dapat mengajukan keberatan kepada MK dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh KPU.

Berdasarkan ketentuan itu, jelas bahwa tanpa gugatan Prabowo ke MK dengan dukungan data yang cukup sampai tanggal 25 Mei, maka Paslon yang ditetapkan KPU sebagai pemenang Pilpres pasti Paslon yang mendapatkan suara melebihi 50% dari total suara atau suara terbanyak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline