Sebagai warga masyarakat, pasti kita tentunya kerap memanfaatkan jasa layanan dan fasilitas lain yang dikelola pemerintah. Sebagai contoh adalah layanan parkir, obyek wisata, pasar dan lain-lain. Walaupun para pelaku/penggiat usaha adalah kalangan masyarakat, tetap saja dikelola pemerintah karena terkait dengan adanya retribusi, perlindungan konsumen dan penyediaan fasilitas pendukung yang hal ini merupakan ranah birokrasi. Namun seringkali dalam menikmati fasilitas-fasilitas ini, kita kerap diganggu oleh tindak kecurangan yang kerap menimpa pemakai jasa yang kerap dilakukan oleh sekelompok orang dari kalangan masyarakat sipil. Bentuk kecurangan disini macam-macam.
Yang pertama yaitu pungutan liar (pungli). Definisi pungli menurut Wikipedia adalah pengenaan biaya di tempat yang tidak seharusnya dipungut atau dikenakan tambahan biaya.
Modus operandi pungli oleh oknum masyarakat ini umumnya seragam, yaitu menaikkan tarif yang harus dibayarkan oleh masyarakat diatas tarif resmi yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Alasan pelakunya pun pada umumnya seragam yaitu (biasanya) memanfaatkan momentum lebaran untuk menambah pendapatan mereka sendiri.
Beberapa tindakan pungli yang kerap terjadi yaitu antara lain (yang saya temukan di Yogyakarta, tempat tinggal saya) :
1.Pungli parkir : modusnya adalah menaikkan tarif parkir hingga dua kali lipat dari tarif resmi. Misalnya di kawasan I seperti ruas Jalan Malioboro hingga Jalan Ahmad Yani tarif parkir kendaraan roda dua bertarif parkir Rp 1.000,- dan kendaraan roda empat bertarif parkir Rp 2.000,- sebagaimana diatur dalam Perda Kota Yogyakarta Nomor 18 Tahun 2009, namun kenyataan di lapangan kerap terjadi kendaraan roda dua ditarik Rp 2.000,- dan kendaraan roda empat ditarik Rp 4.000,-. Padahal dalam regulasi tersebut sama sekali tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa momentum lebaran termasuk event khusus sehingga diperbolehkan menaikkan tarif parkir diluar ketentuan yang ada.
2.Pungli di obyek wisata : modusnya sama namun macamnya lebih beragam, tidak sekedar menaikkan tarif parkir di tempat wisata tersebut, namun bisa juga menaikkan bea masuk obyek wisata secara sepihak. Sebagai contoh, praktek ini marak terjadi di obyek wisata pantai di Kab. Gunung Kidul pada musim liburan sekolah dan lebaran lalu.
Jika kita kaitkan antara definisi pungli dengan substansi pungli itu sendiri, maka sudah jelas bahwa pungli merupakan bentuk KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme) karena sudah pasti kelebihan pendapatan yang mereka dapatkan tidak akan disetorkan ke kas pemerintah daerah sebagaimana kewajiban yang tercantum di Perda, namun digunakan untuk kepentingan mereka sendiri. Tentunya ini merupakan fakta yang menyedihkan mengingat seringnya kita menyuarakan keprihatinan yang mendalam terhadap fenomena KKN di kalangan penyelenggara negara yang begitu hebat, tetapi di sisi lain, saudara-saudara kita sesama rakyat jelata justru ikut-ikutan latah melakukan KKN.
Selain persoalan pungli “musiman” yang kerap muncul setiap periode lebaran tiba, kita tentunya juga kerap sekali mendengar di pemberitaan media massa atau mungkin menemukan kenyataan sendiri di lapangan mengenai kecurangan kedua yaitu tindak kecurangan yang dilakukan oknum pedagang. Setiap periode bulan Ramadhan, selalu dilakukan razia oleh instansi pemerintah dengan didukung kepolisian ke pasar-pasar, baik pasar modern maupun pasar tradisional. Biasanya juga bukan hal yang aneh jika dalam razia ditemukan produk makanan yang telah rusak atau kadaluarsa jika razia dilakukan di pertokoan atau pasar modern. Atau jika dilakukan di pasar tradisional juga tidak aneh jika ditemukan daging glonggongan, daging dari hewan yang diharamkan seperti daging babi dicampur dengan daging yang halal, daging kadaluarsa yang masih dijual seperti ayam tiren (mati kemaren).
Penulis juga sering menyaksikan sendiri di media televisi swasta mengenai kecurangan yang dilakukan para pedagang makanan kecil yang kerap mencampurkan bahan kimia berbahaya ke dalam produk makanan dagangan mereka. Bahan yang biasa dicampurkan biasanya berupa boraks atau formalin yang seringkali kita temukan dijual bebas di pasar-pasar. Alasan para oknum pedagang tersebut biasanya agar produk makanan yang mereka buat bisa bertahan lebih lama dibandingkan tanpa menggunakan boraks atau formalin. Padahal pendapat para pakar kesehatan dan nutrisi seragam, bahwa boraks dan formalin tidak diperbolehkan digunakan untuk produk makanan karena sangat berbahaya bagi tubuh manusia, terlebih jika sering dikonsumsi.
Fakta pelanggaran yang lain juga terjadi di jalan raya, baik selama Ramadhan maupun diluar Ramadhan, yaitu kendaraan angkutan barang yang kerap melakukan pelanggaran berupa kelebihan muatan dan kendaraan angkutan penumpang yang belum tentu memenuhi syarat kelaikan operasional. Kelebihan muatan pada kendaraan angkutan barang beresiko menimbukan kecelakaan pada kendaraan tersebut dan disamping itu juga sangat berpotensi merusak jalan yang dilaluinya. Bukan sekali dua kali kita membaca keluhan masyarakat melalui media massa tentang jalan rusak yang disebabkan oleh truk-truk yang mengangkut barang melebihi tonase yang seharusnya, seperti yang terjadi di kawasan lereng Merapi misalnya.
Sementara untuk kendaraan angkutan angkutan penumpang, pelanggaran yang kerap terjadi adalah tidak memenuhi kelaikan operasional seperti kondisi lampu, rem dan emisi gas buang mesin atau mengangkut penumpang melebihi kapasitas maksimal kendaraan tersebut dan perilaku sopir yang mengemudikan kendaraannya secara sembrono. Kondisi seperti ini sudah jelas memiliki resiko kecelakaan tinggi yang mengancam nyawa penumpang dan orang di sekelilingnya atau menyumbang tingkat polusi udara yangtinggi. Kita rasanya tidak asing lagi jika mendengar kecelakaan kendaraan angkutan umum yang disebabkan kondisi kendaraan bersangkutan yang tidak laik jalan seperti rem blong misalnya. Atau yang baru-baru ini terjadi berupa beberapa kecelakaan lalu lintas yang melibatkan kendaraan angkutan penumpang yang dari penyidikan diketahui bahwa penyebabnya adalah kelebihan kapasitas penumpang, sopir mengemudi dengan sembrono, kendaraan tidak laik jalan atau malah gabungan ketiga faktor tersebut.
Melihat serangkaian kenyataan ini, maka sudah semestinya pihak pemerintah daerah mengambil tindakan yang diperlukan.
Untuk aspek kuratif, yang perlu dilakukan adalah razia. Razia ini penting dilakukan sebagai bentuk penegakan hukum oleh pemerintah dan shock therapy bagi para pelanggarnya.
Pemerintah daerah memiliki landasan hukum yang kuat dalam melaksanakan razia. Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintah Daerah pasal 148 menyatakan bahwa : Untuk membantu Kepala Daerah dalam menegakkan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja.
UU ini mengamanatkan bahwa pemerintah daerah memiliki kewenangan penegakan hukum di daerah, khususnya Perda melalui instansi Satuan Polisi Pamong Praja atau PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) yang berasal dari instansi selain Satuan Polisi Pamong Praja sesuai keahlian fungsionalnya seperti PPNS bidang LLAJ misalnya. Keberadaan PPNS sendiri sebagai elemen penegak hukum yang berasal dari birokrasi sipil telah memiliki tempat dalam khasanah hukum Indonesia berupa adanya UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Peraturan tentang PPNS ini diperinci lagi di dalam Peraturan Kapolri Nomor6 Tahun 2010 tentang Manajemen Penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang memuat ketentuan bahwa PPNS berwenang melakukan tindak penyidikan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang menjadi keahliannya masing-masing dibawah pengawasan penyidik Polri.
Fungsi penegakan hukum oleh pemerintah daerah inilah yang saat ini sudah kurang terdengar gaungnya.
Ada kesan bahwa fungsi pemerintah daerah saat ini lebih banyak terfokus pada tugas pelayanan umum yang bersifat administratif seperti perumusan kebijakan publik, pengurusan dokumen, penarikan retribusi daerah, peninjauan ini-itu serta tugas-tugas administrasi rutin lainnya. Padahal semestinya tugas penegakan hukum juga merupakan fungsi pemerintah daerah sesuai UU Nomor 32 Tahun 2004. Selain UU tersebut, sebenarnya juga ada UU lain yang juga dapat dijadikan landasan hukum yang kuat bagi pemerintah daerah sebagai referensi atau landasan pembuatan Perda seperti UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 159 UU tersebut mengamanatkan bahwa PPNS tertentu yang bertanggung jawab di bidang perlindungan konsumen memiliki kewenangan khusus sebagai penyidik untuk memeriksa, meminta keterangan hingga melakukan penyitaan sebagai barang bukti untuk melakukan tuntutan dalam kasus pidana perlindungan konsumen.
Demikian juga dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dimana dalam pasal262 UU tersebut mengatur kewenangan PPNS LLAJ untuk melakukan pemeriksaan terhadap kelaikan kondisi kendaraan angkutan barang dan penumpang, kelengkapan perizinan operasional kendaraan angkutan dan pemeriksaan kapasitas muatan barang dan dimensi kendaraan bagi angkutan barang.
Tentu saja dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum ini, pemerintah daerah tetap diharuskan melakukan koordinasi dengan institusi Polri selaku institusi yang diberi kewenangan sebagai penyidik umum sesuai ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Selain aspek kuratif, aspek persuasif juga harus diperhatikan oleh pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi penegakan hukum ini. Kampanye dan sosialisasi secara berkala mengenai Perda ke masyarakat sudah semestinya dilaksanakan oleh pemerintah daerah termasuk sanksi yang telah diatur dalam Perda tersebut jika dilanggar oleh masyarakat.
Yang harus diingat, razia ini akan dapat mencapai tujuannya jika diimbangi dengan penerapan sanksi yang tegas. Kerap kali terjadi di lapangan, razia yang sudah direncanakan dengan baik dan didukung oleh penegak hukum terkait hanya dikenai sanksi berupa teguran atau peringatan semata. Tentu saja ini menjadi pertanyaan, jika hanya dikenai teguran atau peringatan saja, bagaimana mungkin dapat menimbulkan efek jera dan juga apakah ada jaminan bahwa pelaku bersangkutan tidak akan mengulangi lagi perbuatannya di masa depan?
Alasan yang kerap muncul dari para petugas adalah keengganan untuk terlibat konflik dengan oknum masyarakat yang menjadi pelaku pelanggaran jika diberlakukan ketentuan sesuai regulasi yang ada, dalam hal ini hingga penjatuhan sanksi pidana.
Kita harus menyadari, setiap pelanggaran aturan atau hukum yang tidak diikuti tindakan tegas akan selalu terulang di kemudian hari. Selain merugikan kepentingan masyarakat yang lebih luas, hal ini juga menurunkan wibawa pemerintah karena para pelakunya akan semakin leluasa beraksi dan menyepelekan ketentuan plus aparatur yang berwenang. Kalau sudah demikian, apa gunanya perda itu dibuat dan untuk apa harus ada instansi Satpol PP plus PPNS serta untuk apa pula harus berlelah-lelah melakukan razia ? Sehingga terkesan bahwa instansi pemerintah daerah hanya membuang-buang uang dan berlakon layaknya macan kertas, hanya keras suaranya tapi sebenarnya tidak mampu berbuat apa-apa.
Dengan demikian, berangkat dari dasar hukum yang telah eksis sebagaimana tersebut di atas, seharusnya pemerintah daerah tidak perlu ragu lagi dalam menegakkan regulasi daerah melalui operasi razia. Memang harus diakui, kadang-kadang ada suara-suara minor yang menganggap bahwa operasi razia pemerintah daerah lebih berorientasi untuk menghabiskan anggaran perjalanan dinas atau sekedar aktualisasi diri instansi bersangkutan karena hanya mampu menegur atau memperingatkan para pelakunya saja, tidak lebih dari itu. Maka untuk menjamin akuntabilitas operasi razia yang digelar dan pemerintah tidak dianggap mencari-cari kesalahan secara sepihak, maka dalam pelaksanaan operasi sebaiknya selalu melibatkan media massa atau menyampaikan press release kepada media massa setiap usai pelaksanaan operasi sehingga dapat diketahui oleh masyarakat luas : razia apa yang dilakukan, instansi mana yang melaksanakan razia, berapa dan siapa saja yang tertangkap dan melakukan pelanggaran apa lalu tindak lanjut apa yang dilakukan sesuai ketentuan regulasi yang coba ditegakkan melalui razia tersebut. Tentu saja sangat diharapkan disini bahwa tindak lanjut yang dilakukan betul-betul sesuai ketentuan regulasi tersebut dengan menyesuaikan tingkat pelanggaran yang telah terjadi sehingga tidak hanya asal memberi teguran atau peringatan saja. Jika ini sudah dilakukan, maka sudah barang tentu publik tidak akan meragukan kewibawaan pemerintah dan cenderung akan berpikir dua kali jika akan melakukan pelanggaran atau kecurangan. Razia tidak perlu menunggu datangnya bulan Ramadhan karena para pelanggar aturan tidak pandang tempat dan waktu dalam melakukan kecurangannya. Razia semestinya dilakukan baik secara rutin maupun insidental agar ada jaminan bahwa kepentingan masyarakat yang lebih luas terlindungi setiap saat dan peraturan yang ada, yang telah dibuat dengan mengakomodasi aspirasi dan anggaran publik, mampu ditegakkan dengan konsisten.
- Yorri Kusuma N,SIP. Alumnus Fisipol UGM program Administrasi Publik, tinggal di Yogyakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H