Lihat ke Halaman Asli

Mak Dawah Mak Dibingi

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Lantaran kemiskinan bahasa, saya termasuk orang yang belum pernah ikut menikmati kekayaan karya-karya sastra daerah. Bahkan termasuk karya masyarakat saya sendiri di Lampung. Terkejutlah saya, ketika suatu saat membaca personal website budayawan Ajip Rasidi . Bahwa pada tahun 2008 Yayasan Kebudayaan Rancage pernah memberikan penghargaan kepada seorang sastrawan Lampung bernama Udo Z Karzi (Zulkarnain Zubairi) dalam buku kumpulan sajak berjudul Mak Dawah Mak Dibingi . Nama Udo Z Karzi saya temukan sebagai salah seorang blogger Lampung dalam komunitas Seruit yang didirikan kawan baik saya Geri Sugiran yang kini bertapa di Sukabumi. Udo adalah jurnalis dan penulis sastra yang begitu rendah hati. Belum lama mengenalnya, ia sudah mengirimi saya buku karyanya yang terkenal itu. Didampingi istri sebagai alih bahasa, saya mencoba menyerap kekuatan emosi dari setiap kata yang muncul dari 50 puisi dalam buku pemberiannya itu. Saya sungguh terkesan sekali. Inilah kelebihan dari sastra daerah, penyampaiannya dalam bahasa ibu, membuatnya sangat akrab dengan keadaan. Simaklah salah satu sajak favorit saya, dari buku Mak Dawah Mak Dibingi berikut ini: LIWA api lagi sai dapok kubanggakon jak niku apa lagi yang bisa kubanggakan darimu lemoh ni tanoh subur sai sa kutinggalko tanno mekiyang gemburnya tanah subur yang dulu kutinggal kini kerontang way sindalapai, way rubok, way setiwang sai ngaleri hatiku way sindalapai, way robok, way setiwang yang mengaliri jiwaku mak lagi nyani rah semangatku merunggak tak lagi membuat darah semangatku menggelegak ujau ni pematang, biru ni pesagi, bangik ni angin hijaunya bukit, birunya pesagi, lembutnya angin mak lagi kutunggai delom pujamaan neram nambi tak lagi kutemui dalam percumbuan kita kemarin sakik mataku ngeliak kecadangan sekejung bilukan renglaya perih mataku menyaksikan kegersangan sepanjang jalan berliku pullanku mak dapok lagi nyegokkon kebatinan sai wat kulupako hutanku tak mampu lagi menyimpan kekayaan yang pernah aku lupakan sakik hatiku ngedengi tamak ni penguasa rik rakus ni pengusaha sakit hatiku mendengar keserakahan penguasa dan kerakusan pengusaha sai nyadangko ham tebiu, rangku ngawil iwa rik langui yang merusak ham tubiyu, telaga tempatku memancing ikan dan berenang pahik rasa ni ngedapokkon kenyataan nyak mak dapok petungga pahit rasanya mendapat kenyataan aku tak dapat menjumpai kantekku sai tanno lebon induh mit dipa sahabatku yang kini menghilang entah kemana api lagi sai dapok kuingok tentang niku apa lagi yang bisa kuingat tentangmu api lagi sai dapok ngikok nyakku jama niku apa lagi yang bisa mengikatku denganmu api lagi sai dapok nyani nyak nirami niku apa lagi yang bisa membuatku merindukanmu api lagi ingokan sai tinggal barong niku apa lagi kenangan tertinggal bersamamu api lagi ... apa lagi ... : niku beni rumpok, sunyin ni lain benyak : kau punya orang lain. segalanya bukan untukku Sebuah jeritan dan sesalan yang hampir sama, dengan yang pernah saya alami terhadap kampung Ibu saya di Blambangan Umpu, Waykanan di bagian Utara Lampung. Udo dan saya ternyata bernasib sama, sama-sama kehilangan desa yang kami cintai. Demi alasan pembangunan dan kemajuan peradaban, desa-desa alamiah berparas indah itu, telah dirusak oleh kekuasaan dan kekuatan modal. Rakyat terbius, mengadatasi diri dari figur petani menjadi figur pegawai negeri atau buruh pabrik. Sementara sedikit demi sedikit, mereka kehilangan tanahnya, hingga tak ada lagi yang tersisa. Kemajuan badan tanpa dibarengi kemajuan fikiran, ternyata hanya melahirkan kehancuran. Dalam buku ini saya temukan banyak sekali bahasa Asing-Indonesia yang diadaptasi kedalam bentuk pengucapan bahasa daerah. Benarlah kiranya jika banyak orang menggelarinya sebagai Bapak Puisi Modern Lampung. Udo memberontak dari kukungan tatanan etis penggunaan bahasa daerah dalam masyarakatnya. Ia bereksperimentasi dalam wujud dialek umum yang sangat biasa diucapkan dalam komunikasi masyarakat Lampung Modern sehari-hari. Sehingga membuat buku ini menjadi lebih membumi dan menyentuh kondisi Lampung terkini. Menikmati Mak Dawah Mak Dibingi, saya malah jadi berharap agar buku ini bisa menjadi simbol dari kebangkitan pembukuan dan penerbitan karya budaya masyarakat Lampung dan daerah-daerah lain. Masih terlalu banyak karya budaya Indonesia yang belum terdokumentasi dan terpublikasi kepada masyarakat luas. Setelah perampokan budaya oleh negara lain, sudah sepantasnya saat ini kita mulai sadar tentang pentingnya identifikasi dan sosialisasi kekayaan budaya yang kita miliki. mak dawah mak dibingi nyak resah neram ingkah nunggu lanjutan ni urik neram nyata ni ingkah ngejalani induh api sai bakal tejadi miror-blog: http://www.yordan.web.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline