Bahasa adalah produk budaya, dan bahasa berkembang bersama budaya masyarakat penuturnya. Bahasa mencerminkan masyarakat dan budaya tempat bahasa tersebut digunakan. Bisa dikatakan bahwa bahasa adalah pemegang peranan penting dalam berkomunikasi atau menyampaikan pesan, maka dari itu tidaklah mengherankan jika bahasa merupakan salah satu aspek hidup manusia yang mampu berkembang secara cepat. Tanpa sebuah bahasa, manusia akan mengalami kesulitan luar biasa dalam menyampaikan maksud hatinya kepada orang lain. Negara Indonesia pun menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi yang digunakan sebagai bahasa negara di dalam BAB 36, UUD 1945. Itu artinya bahasa Indonesia memiliki kedudukan tinggi dalam kehidupan masyarakatnya, yang harusnya dilestarikan, dan dijunjung tinggi penggunaannya didalam kehidupan sehari-hari.
Pengaruh globalisasi yang semakin hari semakin mencekik kehidupan manusia memiliki dampak yang begitu besar, sehingga mampu mempengaruhi seluruh aspek hidup masyarakat, tanpa terkecuali bahasa. Dampak tidak langsung dari globalisasi yang mempengaruhi bahasa dapat kita amati dalam kebiasaan kita berbahasa. Bahasa asing, khususnya bahasa Inggris berpengaruh besar pada kosakata bahasa Indonesia. Belakangan ini penggunaan kosakata bahasa Inggris yang diadaptasi oleh bahasa Indonesia yang struktur katanya telah mengalami perubahan semakin meningkat, contohnya kata transformation dalam bahasa Inggris diubah menjadi transformasi, double menjadi dobel, effect menjadiefek, dan masih banyak kata serapan lainnya yang ada dalam bahasa Indonesia. Hal yang lebih memprihatinkan lagi adalah kebanyakan orang Indonesia merasa lebih bangga menggunakan bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Hal ini terlihat jelas dari cara berbicara atau menulis mereka yang cenderung mencampur adukan bahasa, dan menggunakan istilah-istilah bahasa Inggris yang sebenarnya sudah memiliki padanan kata yang baku didalam bahasa Indonesia. Mari kita amati contoh kalimat yang diambil dari salah satu situs berita online pada hari Rabu 24 Juli 2013 berikut ini :
“Harusnya pemerintah pusat yang meng-handle serta harus meresentralisasi terkait perlindungan anak.”
Dari dua kata yang dicetak miring, terlihat jelas bahwa kata-kata tersebut adalah kata yang berasal dari bahasa Inggris. Yang jadi pertanyaan disini adalah, mengapa penulis tidak menggunakan kata “menangani” sebagai padanan dari meng-handle, dan menggunakan kata “menengahi” sebagai padanan dari meresentralisasi? Meskipun terlihat sepele, namun jika hal ini terus dibiarkan maka lama-kelamaan bisa berakibat fatal dan tidak menutup kemungkinan berujung pada rusaknya struktur kata dalam bahasa Indonesia. Sehingga bukan tidak mungkin para penutur bahasa Indonesia lebih merasa nyaman menggunakan bahasa Inggris dan secara otomatis akan kehilangan kemampuannya dalam berbahasa Indonesia, dan akhirnya para penutur pun akan seenaknya sendiri membuat kata-kata baru dalam bahasa Indonesia yang sebenarnya tidak baku bahkan tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang benar. Contoh fenomenal yang pernah terjadi di Indonesia adalah kemunculan Vicky dengan kata-kata barunya seperti, labil ekonomi, mempertakut, kontroversi hati, konspirasi kemakmuran, dan masih banyak lagi. Dari kasus Vicky ini kita dapat melihat bahwa nilai nasionalisme pada bahasa telah mengalami penurunan.
Pengaruh Bahasa Inggris Pada Struktur Bahasa Indonesia
Tanpa kita sadari pengaruh penggunaan bahasa Inggris rupanya sudah memasuki struktur bahasa Indonesia. Sering kita jumpai dalam ungkapan lisan maupun tertulis kata-kata bermuatan kata tanya digunakan dalam kalimat pernyataan positif, contoh : “Rumah di mana nenekku tinggal hancur karena badai.” Secara fisik kalimat ini merupakan kalimat berbahasa Indonesia, tapi secara struktur, kalimat ini masih mengandung struktur kalimat bahasa Inggris : “A house where my grandmother lived was destroyed by a storm.” Kata where diterjemahkan sebagai dimana. Menurut Jurnal Widya Warta no. 02, Juli 2010 beberapa pengamat bahasa Indonesia seperti Kunardi Hardjoprawiro, Farid Hadi, Wedhawati, dan E Zainal Arifin mengemukakan bahwa kata-kata di mana, yang mana, apa, dan sebagainnya sering digunakan secara simpang siur dan tidak baku. Penggunaan sedemikian rupa sangatlah memprihatinkan. Maka kalimat A house where my grandmother lived was destroyed by a storm, yang diterjemahkan sebagai Rumah di mana nenekku tinggal hancur karena badai akan lebih berterima jika diubah menjadi : Rumah tempat nenekku tinggal hancur karena badai.
Contoh lain bisa kita lihat pada kalimat : “Guru itu akan mengajari kita bagaimana kita dapat memecahkan masalah tersebut.”Maka, menurut struktur kalimat bahasa Indonesia kalimat tersebut dapat diubah menjadi : “Guru itu akan mengajari cara memecahkan masalah tersebut.
Kesimpulan
Sebagai warga negara Indonesia tentu saja kita dituntut untuk mencintai bahasa persatuan kita, bahasa Indonesia. Karena seperti yang sudah diutarakan di awal, bahwa bahasa merupakan produk budaya yang mencerminkan masyarakat dan budaya tempat bahasa tersebut digunakan maka patutlah kita bangga terhadap bahasa kita sendiri. Menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar merupakan suatu perwujudan cinta kita terhadap bangsa Indonesia.
Memang tidak bisa kita pungkiri bahwa globalisasi merupakan suatu ajang bagi kita untuk dapat bersaing dengan dunia luar secara lebih terbuka dan bebas. Mempelajari bahasa asing memang merupakan sebuah modal yang juga diperlukan untuk dapat menunjang persaingan yang semakin lama semakin ketat. Tapi hal yang juga tidak kalah penting di sini adalah jangan sampai kita lebih peduli kepada bahasa asing daripada bahasa kita sendiri. Jika kita menengok ke negara-negara besar di Asia seperti Cina dan Jepang, maka kita akan melihat betapa bangganya mereka memiliki bahasa mereka masing-masing. Kedua negara tersebut justru mempromosikan budaya mereka lewat bahasa. Bisa kita lihat di Jepang dan Cina, demi memudahkan para turis asing belajar bahasa Jepang, mereka menambahkan tulisan Katakana untuk menulis kata serapan yang tidak terdapat pada tulisan Kanji. Cina pun juga menggunakan pinyin, sehingga “ciri khas” bahasa mereka tetap terjaga.
Jika kedua negara tersebut mampu mempertahankan budaya mereka lewat bahasa, lalu mengapa kita tidak? Janganlah kita merasa minder menggunakan bahasa Indonesia, karena kehebatan dan nilai prestisius seseorang tidak hanya dinilai dari kemampuannya berbahasa asing, namun juga cara berpikirnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H