Lihat ke Halaman Asli

Hukum Galau Rakyat Risau

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sering sekali kita mengetahui, mendengar dan bahkan mengucapkan kata hukum, bisa dibilang bahwa hukum bukanlah suatu hal yang baru dalam kehidupan kita. Indonesia merupakan negara hukum, yang keseluruhan peraturannya didasarkan pada undang-undang dasar 1945. Dengan mengenali fakta tersebut, tentu saja kita dapat menyimpulkan bahwa hukum merupakan salah satu piranti vital yang mengatur kehidupan sekaligus menetapkan tatanan mengenai hal apa saja yang dilarang dan tidak, didalam kehidupan bermasyarakat. Namun, seringkali para penyusun kebijakan tersebut kurang memahami intisari atau makna sesungguhnya dari kata hukum itu sendiri. Hal ini tercermin dari beberapa kebijakan dan ketetapan yang mereka buat. Disadari atau tidak, ada banyak sekali hukum yang sebenarnya tidak masuk akal disekitar kita.

Menurut Thomas Aquinas, hukum adalah (1)aturan yang didasarkan pada tatanan akal budi, sehingga hukum haruslah masuk akal, (2) hukum harus dibuat demi kepentingan dan kesejahteraan bersama, bukan mengabdi pada kepentingan golongan, orang, atau partai tertentu saja (3) Hukum harus dibuat oleh instansi berwenang, sehingga tiap orang tidak boleh membuat hukumnya sendiri dan apalagi main hakim sendiri (4) hukum harus disahkan. Jika hukum belum disahkan, maka hukum tersebut hanya sebatas rancangan undang-undang. Dari beberapa penjelasan yang dikemukakan oleh Thomas Aquinas, kita bisa mendapatkan setidaknya satu poin penting yang terkandung didalam empat gagasan tersebut. Mengingat hukum adalah piranti vital yang mengatur kehidupan sekaligus menetapkan tatanan mengenai hal apa saja yang dilarang dan tidak, maka hukum semestinya memerintahkan seseorang untuk melakukan hal yang baik, dan melarang seseorang melakukan hal yang buruk. Hal inilah yang seharusnya menjadi dasar dalam penyusunan undang-undang. Sehingga undang-undang dan hukum yang dimaksudkan tepat sasaran dan tidak menimbulkan kontroversi.

Lalu, adakah hukum yang terlihat benar tapi tidak masuk akal? Mari kita cermati contoh kasus yang terdapat didalam peraturan daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum, pada pasal 40 huruf c disebutkan setiap orang atau badan dilarang memberikan sejumlah uang atau barang kepada pengemis, pengamen, dan pengelap mobil. Bagi yang melanggar pasal tersebut dikenai ancaman pidana kurungan paling singkat 10 hari dan paling lama 60 hari atau denda paling sedikit Rp 100 ribu dan paling banyak Rp 20 juta. Dari Peraturan daerah tersebut, kita dapat melihat sisi baik pemerintah kota Jakarta yang bertujuan untuk menata kota supaya menjadi lebih baik, sekaligus membebaskan Jakarta dari para pengemis, pengamen, dan pengelap mobil. Tapi yang menjadi pertanyaan disini adalah, apakah peraturan tersebut masuk akal dan sesuai, jika dikaitkan dengan tujuan pemerintah untuk menata kota? Yang menjadi masalah disini sebenarnya bukan dilihat dari sisi benar atau tidaknya, karena Perda berkaitan dengan rasional atau tidaknya suatu peraturan tersebut, dan hal yang membuat peraturan daerah ini menjadi tidak rasional adalah tidak diterapkannya prinsip hukum didalam peraturan tersebut. Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa hukum semestinya memerintahkan seseorang untuk melakukan hal yang baik, dan melarang seseorang melakukan hal yang buruk. Saya rasa, semua orang setuju bahwa memberi adalah tindakan yang baik. Bahkan dibeberapa ajaran agama, seseorang diwajibkan untuk memberi atau bersedekah pada sesamanya. Tapi hal ini berbanding terbalik jika kita melihat perda yang ada di atas. Seseorang yang kedapatan memberi justru dikenai ancaman pidana kurungan paling singkat 10 hari dan paling lama 60 hari atau denda paling sedikit Rp 100 ribu dan paling banyak Rp 20 juta. Secara tidak langsung, hal ini memberi larangan kepada setiap orang untuk memberi. Lalu bagaimana cara menanggulangi para pengemis dan pengamen supaya tidak berkeliaran di kota apabila tidak dibuatkan peraturan tersebut? Saya rasa pemerintah seharusnya mengumpulkan para pengemis dan pengamen tersebut untuk dibina dan diberi pelatihan ketrampilan khusus, yang semua anggaranya didanai oleh APBD. Cara tersebut jauh lebih efektif dibandingkan membuat peraturan yang isinya menghalangi bahkan mengancam seseorang yang pada dasarnya ingin berbuat baik dengan hukuman. Selain itu kita tidak pernah tahu keadaan sebenarnya dari para pengemis dan pengamen yang berkeliaran di kota, bisa jadi mereka benar-benar membutuhkan bantuan dan

Contoh lain bisa kita lihat didalam peraturan walikota kota Madiun. Didalam Perwali nomor 10 tahun 2011 yang mengatur penerimaan peserta didik baru, disebutkan bahwa peserta didik diharapkan berasal dan berdomisili di Kota Madiun. Sebenarnya inti dari Perwali tersebut adalah peserta didik yang berasal dari luar kota Madiun, termasuk kabupaten Madiun, tidak diperkenankan mendaftarkan diri di sekolah negeri Kota Madiun. Walikota Madiun beralasan jika calon siswa asal kabupaten Madiun mendaftar dan diterima di sekolah negeri kota Madiun, maka sekolah negeri di kabupaten akan kekurangan murid. Hal ini sempat mendapatkan protes keras dari beberapa masyarakat dan beberapa organisasi Madiun karena hal ini jelas melanggar hak masyarakat untuk mendapat pendidikan yang lebih baik. Bahkan jika kita mendalami lebih serius lagi, secara tidak langsung peraturan ini melarang siswa untuk bersekolah. Jelas ini tidak masuk akal dan diluar penalaran, bagaimana bisa peraturan dibuat hanya untuk melarang seseorang mendapatkan pendidikan yang baik? Tentu saja peraturan ini akhirnya menjadi sebuah penghambat yang sangat merugikan. Ketika pemerintah pusat sudah berupaya meningkatkan mutu pendidikan dengan mengadakan program wajib belajar sembilan tahun harusnya pemerintah daerah memberi tanggapan positif dengan cara tidak mempersulit seseorang yang pada dasarnya ingin mendapatkan pendidikan. Meskipun tidak ada sanksinya, tapi kebijakan ini telah menjadi peraturan yang telah ditetapkan sehingga mau tidak mau harus ditaati. Kasus ini pun menjadi sangat memprihatinkan ketika pada akhirnya, demi menaati peraturan tersebut para orang tua yang menginginkan anaknya mendapat pendidikan di kota pun rela mengubah data kependudukan anaknya dan menitipkan nama anak mereka di kartu keluarga saudara, dan bahkan teman dari orang tua tersebut yang tinggal di kota. Sesulit itukah jalan yang harus ditempuh seseorang yang ingin mendapatkan pendidikan?

Dari dua contoh kasus diatas kita dapat menarik kesimpulan bahwa, tidak semua hukum itu baik. Penilaian baik disini bukan didasarkan kepada sukses atau tidaknya hukum tersebut dapat dilaksanakan. Karena hukum yang sukses dilaksanakan belum tentu rasional dan masuk akal. Kasus di atas merupakan suatu bukti bahwa hukum pun bisa menjadi tidak masuk akal. Jika sudah begitu rakyatlah yang harus menanggung konsekuensi dari aturan-aturan tersebut. Makadari itu peran serta kita sebagai masyarakat dalam menilai dan meneliti permasalahan yang terjadi disekitar kita sangatlah penting. Sehingga kita tidak menjadi bulan-bulanan aturan yang kurang sesuai, sekaligus kita juga mampu membedakan mana hukum yang baik dan mana yang tidak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline