Lihat ke Halaman Asli

Yoppie Christ

Alumni Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB, Peneliti di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut IPB

Lubang-lubang di Jalan Jokowi

Diperbarui: 12 Februari 2019   11:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok: www.inews.co.uk/shutterstock

Perseteruan antara pendukung Paslon 01 dan Paslon 02 tetap meruncing, mobilisasi sana-sini menguat di mana-mana, simbol-simbol dunia intelektual pun tak mau diam. Mereka menunjukkan sikap secara kolektif untuk mendukung salah satu paslon, demikian juga sebaliknya. 

Meski tak seberisik bulan-bulan sebelumnya karena isu hoax dan citra politik identitasnya, saya yakin pilihan mereka sudah mantap ke salah satu Paslon, apapun alasannya. Preferensi sudah ditetapkan jauh sebelum hari H mereka menentukan sikap di bilik suara.

Namun sikap pemilih jelang 2019 tidaklah biner, masih terdapat kelompok lain baik yang masing swing voter (yang belum memutuskan, kebanyakan dari pemilih pemula atau pemilik dewasa rasional yang berhati-hati), golongan putih (yang kebanyakan kelompok kiri yang kecewa atau kelompok lain yang tidak merasa satu visi dengan paslon manapun) dan golongan apolitis (yang tidak terjangkau atau tidak ingin mendekatkan dirinya dalam proses elektoral dengan bermacam alasan). 

Bahkan pemilh salah satu Paslon di tahun 2014 bisa jadi juga berubah setelah melihat hasil dari rezim yang memenangi pertarungan ataupun dari oposisi yang tetap konsisten melawan pihak pemenang.

Dari beragam survei dan studi yang dilakukan banyak pihak, total tiga kelompok besar tersebut bervariasi antara 10% sampai dengan 26% bahkan ada yang memperkirakan sampai 40% secara simulasi. 

Jika diambil angka tengah secara moderat, 20% pemilih adalah kelompok yang belum memutuskan. Apabila dipersentasekan dari total 192 juta pemilih dalam Pemilu 2019 maka 20% tersebut berjumlah sekitar 38 juta suara, tentu bukan jumlah yang sedikit karena bisa mempengaruhi jumlah capaian suara dalam elektoral.

Apakah mau abaikan 20% ?

Ketidakyakinan atau kehati-hatian kelompok ketiga, atau juga kepenatan dalam komunikasi politik sehingga memunculkan tokoh alternatif non-elektoral seperti Dildo hendaknya disikapi juga secara serius oleh para tim sukses masing-masing calon. Namun bagi pihak yang pada saat ini memegang kekuasaan, adalah momen terbaik untuk menunjukkan siapa jati diri sebenarnya dari rezim yang berkuasa ini.

Citra populis (dalam arti merakyat), informal, pekerja keras, bersih, rendah hati, sabar dan modernis bisa dikatakan melekat pada Jokowi secara personal (bukan rezimnya yang dinilai sebagai new-developmentalis), citra yang diinginkan banyak orang yang tak pernah muncul lagi dari seorang pemimpin setelah Hatta dan Gus Dur. 

Namun bagi kaum 20% citra tak cukup untuk mememuhi rasionalitas mereka terhadap pemimpin negara. Tak bisa disalahkan juga karena tumpukan masalah di Indonesia memang sangat sarat, centang perenang kusut sehingga tak tahu pasti yang mana dulu yang harus diselesaikan, karena semua penting.

Pilihan rezim Jokowi pada infrastruktur, keamanan maritim, layanan sosial, utang, dan konektivitas antar daerah untuk mengurangi ketimpangan, semua adalah masuk akal karena relatif terukur (tangible) dan terlihat hasilnya bagi khalayak ramai, bisa jadi mayoritas warga negara Indonesia. Setiap orang dinilai dapat merasakan meski secuil dari perubahan itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline