Lihat ke Halaman Asli

Yoppie Christ

Alumni Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB, Peneliti di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut IPB

Tahun Kekalahan Petani dan Nelayan, Sebuah Refleksi Tahun 2017

Diperbarui: 23 Desember 2017   01:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Warga Pulau Pari saat menghadiri sidang kriminalisasi terhadap pengelola Pantai Pasir Perawan di PN Jakarta Utara (Dok. Forum Peduli Pulau Pari 2017)

Tak salah rasanya ketika pada suatu diskusi seorang penggiat reforma agraria senior menyatakan bahwa biasanya di tahun ketiga pemerintahan (siapapun itu) semua janji populis yang dijual semasa kampanye (baca: presiden) akan dilupakan. Tahun politik katanya alias tahun menyiapkan jualan berikutnya dan akan dilupakan lagi nanti di tahun ketiga. 

Lihatlah janji Reforma Agraria pemerintahan saat ini, ke manakah dia? Janji menciptakan lahan baru bagi petani digemborkan namun di lapangan justru tanah-tanah petani dan nelayan digusur baik untuk kepentingan korporasi maupun infrastruktur oleh negara dengan justifikasi kepentingan umum yang mental-mentul pengertiannya. Pertanyaannya: Kenapa harus menggusur tanah nelayan dan petani? dan kenapa kembali peradilan dan aparat keamanan jadi musuh petani dan nelayan?

Berkaca pada kasus konflik agraria termutakhir di tahun 2017 yakni konflik Semen Indonesia versus petani Kendeng, kemudian konflik tanah di Pulau Pari Kepulauan Seribu antara korporasi dan nelayan, kasus Surokonto Wetan Kendal antara petani dengan Perhutani, kasus tambang pasir laut di Belitung, nelayan Tanjung Balai Karimun yang kehilangan lautnya oleh sertifikat tanah (di laut??) milik pengembang property, dan yang terakhir ketika petani Paliyan Kulonprogo digusur proyek New Yogyakarta International Airport (NYIA) serta rentetan kasus-kasus lain yang berakhir sama. 

Semua konflik agraria berakhir dengan kekalahan petani dan nelayan di tangan penghakim di pengadilan. Bukan pihak yang kuat yang diberi sanksi melainkan petani dan nelayan miskin yang harus mendekam di balik terali. 

Jika meminjam istilah dari Chomsky, praktik ini bisa dikategorikan sebagai kriminalisasi kemiskinan yakni penetapan sanksi hukum pada pihak yang berupaya mempertahankan hidup dari tekanan kemiskinan struktural yang dialaminya sebagai dampak diabaikannya hak mereka sebagai warga negara. Dihukum karena miskin  yang membuat warga tak punya tanah, tak punya sertifikat, tak membayar retribusi, mengganggu korporasi, dsb.

Menggunakan data dari Konsorsium Pembaharuan Agraria tahun 2016 lalu, jumlah konflik agraria tahun 2016 berlipat dari tahun sebelumnya dari 252 kasus di tahun 2015 menjadi 450 kasus di tahun berikutnya. KPA mencatat terjadi 450 konflik agraria dengan total luasan wilayah 1.265.027 hektar dan melibatkan 86.745 keluarga. 

Sektor terbesar dimana konflik terjadi adalah sektor perkebunan (36,22%), properti (26,00%), infrastruktur (22,22%), kehutanan (5,56%), pertambangan (4,67%), pesisir dan laut (2,22%), migas (1,56%) dan pertanian (1,55%). Dari total konflik yang terjadi, aktor yang terlibat dalam konflik agraria yang terbanyak adalah antara warga dan swasta (38,22%), warga dan pemerintah (22,44%), antar warga (14,44%), warga dan BUMN (13,56%), TNI dan Polri (5,78%) dan lainnya mencapai 5,56%. 

Secara sebaran lokasi terlihat tak ada wilayah yang tak tersentuh konflik agraria baik yang tradisional seperti hutan sampai yang jarang ditilik orang yakni pulau kecil seperti kasus Pulau Pari atau Gili Sunut (NTB) beberapa tahun yang lalu.

Masih dari data KPA, sampai tahun 2016 bentuk fisik yang dialami korban konflik agraria adalah a) kriminalisasi sebanyak 177 orang, b) meninggal 13 orang, dan c) penganiayaan 66 orang dimana pelakunya terbanyak adalah aparat keamanan resmi baik polisi dan tentara, jenis pelaku lain adalah pihak keamanan perusahaan, serta yang tipe terakhir adalah warga sendiri baik dari lokasi yang sama maupun dari luar lokasi (preman). 

Kondisi ini semakin menguatkan posisi negara sebagai aktor utama kekerasan dalam sengketa agraria baik yang menyangkut kepentingan negara secara langsung maupun tidak langsung dimana warga secara komunal berhadapan dengan pihak swasta maupun BUMN. Namun "negara" di sini bukanlah dipahami sebagai satu kesatuan monolith yang tersentral melainkan formasi-formasi negara dimana masing-masing lembaga di level yang berbeda memiliki pilihan tindakan sendiri-sendiri yang tak terpola seragam.

Hal ini menunjukkan bahwa bangunan "negara" Indonesia sampai saat ini adalah negara yang sedang dalam proses membangun dirinya (in the making).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline