Lihat ke Halaman Asli

Yoppie Christ

Alumni Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB, Peneliti di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut IPB

Mengapa Orang Baik Bisa Menjadi Agresif di Jalanan?

Diperbarui: 21 Agustus 2015   01:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi Konvoi Jalanan"][/caption]

Menjadi Bagian dari Massa

Mungkin sebagian besar dari kita pernah berada di sebuah kerumunan. Kerumunan di sini diartikan sebagai sebuah kumpulan individu yang bersifat spontan dan tidak permanen, disatukan oleh sebuah insiden atau peristiwa yang sama dan di lokasi yang sama, misalnya sama-sama menonton dangdut, ikut memperhatikan ketika terjadi kecelakaan di jalan atau ikut mengejar orang yang diteriaki copet di pasar (Milgram, 1977). Apa yang kita lakukan saat itu adalah berpikir, berpendapat dan bertindak seperti orang yang lain dalam kerumunan itu. Kemudian kita akan pergi mengurus kembali urusan kita, kita ke rumah atau bertemu teman-teman lalu menceritakan apa yang dilihat seolah kita tahu persis apa yang terjadi barusan.

Kita juga pasti pernah menjadi bagian dari massa, massa diartikan sebagai kerumunan yang tidak bergerak sendiri melainkan digerakkan atau dimobilisasi, asalnya heterogen namun tampil cenderung homogen, dan diikat oleh sebuah identitas yang sama meskipun secara pribadi tidak saling mengenal. Singkatnya, massa adalah kerumunan yang terorganisir (Davis, 1960). Saat kita hadir sebagai suporter sebuah tim sepakbola, ikut demonstrasi, atau ikut pawai oleh komunitas sepeda motor saat itulah kita menjadin bagian dari sebuah kelompok massa.

Saya teringat saat masih muda saya ikut kampanye sebuah partai politik, bermodal kaos partai hasil pembagian dan sepeda motor yang dilepas peredamnya, saya bergabung dengan kelompok besar yang lain lalu konvoy sepanjang jalan memperdengarkan raungan knalpot yang memekakkan telinga. Yang saya rasakan saat itu adalah kepuasan karena bisa ikut merayakan kebebasan berekspresi, namun ada rasa yang lebih pribadi yakni menikmati kekuasaan. Dalam massa ini, saya merasa aman, meski knalpot saya membuat orang marah namun dia tak akan berani menghentikan saya. Tentu saja karena jumlah kami banyak.

Pada kesempatan lain, saat sudah lebih tua, saya juga pernah mengikuti sebuah rombongan resmi tamu negara. Saya menjadi bagian dari tim tamu negara tersebut. Sesuai perundangan, kami memang harus dikawal oleh vorijder polisi sampai tujuan dan kembali. Maka melesatlah kami dengan kecepatan tinggi melibas semua jalan, raungan sirine memaksa semua orang berhenti dan menyingkir. Kadang saya jengkel ketika rombongan harus berjalan pelan karena terhalang kereta kuda dan ibu-ibu kikuk yang naik motor sambil membawa anak-anaknya, pada akhirnya mereka terpaksa tersuruk-suruk ke pinggir jalan karena tak tahan dengan klakson yang terus dibunyikan. Sungguh kuasa itu nikmat. Namun setelah melihat kejadian itu -kusir yang panik karena harus mengatur kudanya serta ibu yang ketakutan dan hampir jatuh dari motor- ada rasa tak enak dalam hati saya. Mereka lah yang setiap hari lewat jalan itu, ya kuda ya motor, apa salah mereka kok harus tersingkir? Itu lah perasaan saya, ada rasa bersalah yang muncul apalagi jika ingat, saya pun pernah dalam posisi si kusir dan ibu tadi dan saat itu rasanya ingin saya melempar konvoi yang lewat itu dengan batu. Saya yang tentu bukan orang penting dalam rombongan itu tiba-tiba merasa jadi bagian orang penting yang harus mendapat keistimewaan.

 

Berkaca dari peristiwa Jogja

Sejak akhir minggu lalu media ramai oleh perdebatan soal aksi pengadangan oleh pesepeda terhadap rombongan konvoi Harley Davidson yang sedang punya hajat di Jogja. Meski ujungnya sudah berakhir baik antara aktivis pesepeda dengan pengikut konvoy HD namun ada sebuah pelajaran yang sayang jika dibuang begitu saja.

Perilaku konvoi, apapun itu, pasti melewatkan jumlah yang banyak. Jumlah banyak membutuhkan pengaturan agar tidak bersinggungan dengan kepentingan publik yang lain secara luas. Apapun konvoi itu, baik sepeda, andong, sepeda motor, mobil bahkan rombongan kematian pun tentu akan berdampak secara luas karena menggunakan sarana jalan umum yang digunakan oleh siapa saja mulai dari pejalan kaki sampai pengendara mobil besar. Kenapa terjadi insiden pun semua orang sudah tahu berkat informasi yang berjalan cepat dan luas, namun yang kemudian membuat persoalan membesar adalah adanya reaksi yang muncul baik dari pengendara HD maupun dari kepolisian. Reaksi ini adalah ketidakterimaan atas kritik dan aksi pengadangan itu dari peserta konvoi dan kengototan polisi bahwa mereka sudah benar dalam melakukan tindakan pengawalan yang dirilis di akun Facebook Divisi Humas Mabes Polri. Terlepas dari betapa multiinterpretasinya pasal yang digunakan, kita semua sudah tahu dan karena itu tidak akan dibahas di sini.

Yang kemudian dipojokkan adalah kelompok atau klub penggemar Harley Davidson. Kelompok ini bukanlah sebuah organisasi yang tidak terorganisir, pun juga bukan kelompok yang sering terlibat kriminalitas di jalan layaknya begal motor, kelompok ini juga sering melakukan kegiatan sosial yang bersifat karitatif. Latar belakang pengendaranya beragam namun dominasinya adalah pengusaha dan pensiunan polisi, pejabat dan kalangan artis, namun tak sedikit juga adalah warga biasa. Secara pendidikan juga bukan dari kalangan tak berpendidikan saya pikir. Singkatnya, mereka bukan orang jahat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline