Lihat ke Halaman Asli

Yoppie Christ

Alumni Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB, Peneliti di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut IPB

Adakah Babi yang Halal?

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1294829837235131088

[caption id="attachment_84345" align="alignleft" width="150" caption="medantalk.com"][/caption] Sekonyong-konyong kawan kerja seruanganku terkikik! Mau ngga mau aku terdorong untuk bertanya apa pasal yang bikin dia terkikik gitu.... Selidik punya selidik dia sedang membaca satu artikel mengenai -beneran tentang- pasal, tepatnya pasal 58 UU no 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Isinya pada poin 4 pasal 58 itu begini: ”Produk hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk diedarkan wajib disertai sertifikat veteriner dan sertifikat halal”

Nah yang jadi bahan kikikan teman saya tadi adalah adanya pengajuan uji materi atas UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi oleh.....pedagang babi, pedagang anjing, dan pedagang telur! Mereka mengajukan uji materi atas UU tersebut karena pasal 58 itu sangat merugikan mereka. Mengutip sumber dari Antara, poin yang dikeluhkan adalah ” Pemohon tidak bisa mengedarkan dagangannya karena wajib menyertakan sertifikat halal”, begitu menurut pengacara mereka (antaranews.com, 11 Januari 2011).

So intinya pedagang babi dan anjing tadi menolak pasal yang mewajibkan mereka untukmendapatkan status halal.....atas babi dan anjing! Hwarakadaaaah....?!

What a surprise buat saya, saya terus terang baru tahu ada UU ini, begitu juga pasal mengenai kewajiban sertifikat halal mengenai babi dan anjing ini, terimakasih buat mereka yang telah mengajukan uji materi ini sehingga saya bisa tahu mengenai UU ini. Sebagai pemakan segala sih saya ngga ada masalah apakah itu halal atau tidak, kalau cocok di lidah ya hazzar aja les! Tapi biar kelihatan pinter saya ikutan sok mikir, bagaimana ada UU begini bisa muncul dari gedung hebat itu! Alangkah tak ada habisnya kelucuan dan kekonyolan di negeri ini atau ini salahnya alam pikir para pembuat kebijakan itu sendiri yang tak juga memahami betapa pelanginya Indonesia ini.

Kebetulan kemarin lusa saya membaca artikel dari portal Lentera Timur berjudul Denasionalisasi Indonesia. Tulisan yang cermat, untuk kesekian kalinya ada pihak yang memandang bahwa adalah tidak tepat menggunakan satu model dan ukuran untuk semua wilayah di Indonesia. Diimplisitkan dalam artikel tersebut bahwa Indonesia yang satu ini hanyalah fantasi dan khayalan semata karena pada dasarnya Indonesia tetaplah pelangi danmasing-masing wilayah punya kekhasan dan otorita nilai sendiri. Tak jemu juga tulisan ini mengingatkan bahwa usaha untuk men-Jakarta-kan daerah atau me-Nasional-kan tradisi adalah perilaku sosial politik yang tidak tepat bagi Indonesia. Saya juga bisa menganalogikan juga bahwa usaha me-Mayoritas-kan kaum minoritas juga adalah kerjaan yang ahistoris dan tidak produktif bagi pembentukan karakter kebangsaan. Satu bukan berarti Satu Warna! Hatta sendiri selaku bapak bangsa sudah menyatakan dengan tegas : Kita menginginkan Per-satu-an, dan BUKAN Per-sate-an!! (lenteratimur.com, 10 Januari 2011).

Pada kasus pengajuan uji materi ini tampak sekali sesatnya pikir pembuat kebijakan yang menganggap bahwa semua masyarakat di Indonesia adalah muslim yang notabene tidak mengkonsumsi babi dan anjing. Maka mereka mengatur dengan gampangnya mewajibkan sertifikasi halal atas produk peternakan karena cuma berpikir bahwa ternak itu ya sapi, kerbau, kambing, domba, ikan, dan unggas-unggasan. Mereka seakan lupa bahwa banyak penduduk di Indonesia juga mengkonsumsi babi dari sebuah usaha peternakan.

Dari suatu catatan di media tahun 2009, seorang pejabat departemen pertanian sendiri menyatakan bahwa populasi babi itu cukup besar. Dikatakannya sampai 2009 saja populasi babi ternak ada sebanyak 7,5 juta ekor, yang terbanyak adalah di NTT 1,6 juta, Bali 900.000, Kalimantan Barat 876.000, Sumatera Utara 760.000, Sulawesi Utara 530.000, Papua 510.000 dan daerah lainnya, 2,2 juta ekor (Sinar Harapan, 29 April 2009). Dan bukankah semua daerah itu masih Indonesia? Peredaran nya pasti menimbulkan percik yang cukup bagi api perekonomian rakyat kan? Dan yang pasti tak merugikan siapa-siapa karena cuma kalangan terbatas yang mengkonsumsinya, artinya tidak melanggar hak-hak dan previlese kelompok lain yang merasa perlu dilindungi oleh produk terkait.

Sekali lagi juga, tak jemu-jemu kita mengajak para pembuat kebijakan untuk betul-betul bijak dan banyak membaca mengenai pluralisme dan kemajemukan bangsa Indonesia ini supaya tak gampang terjebak dalam kesalahan elementer seperti ini. Jangan sampai nanti ada orang yang mati-matian nyari warung babi panggang bersertifikasi halal hahaha...! Dan apapun hasil permohonan uji materinya apakah memang fatal secara yuridis ataukah cuma kekurang cermatan dalam pembuatan aturan teknis, saya cuma berharap bahwa pertimbangannya adalah memperhatikan kemajemukan yang memang ada dan faktual di Indonesia ini, itu aja.

Babi aja kok bikin repot! (ll)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline