Lihat ke Halaman Asli

Yoppie Christ

Alumni Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB, Peneliti di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut IPB

Demokratisasi Maling

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

12945582981917545768

[caption id="attachment_83749" align="alignleft" width="150" caption="moviesmedia.ign.com"][/caption] Telah 12 tahun berlalu sejak diproklamasikannya Gerakan Reformasi sejak 1998 yang ditandai lengsernya Soeharto tanggal 12 Mei. Mengikuti apa yang diucapkan oleh Milan Kundera bahwa “perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa” maka marilah mengingat kembali titik awal dari apa yang seharusnya kita jalani bersama selama 12 tahun ini. Reformasi merupakan suatu gerakan yang menginginkan perubahan tatatan sosial politik lama  menuju ke tatanan sosial politik, hukum, sosial dan ekonomi yang lebih baik setelah dimanipulasi habis-habisan oleh rejim orde baru. Indonesia Baru adalah frase kunci pada saat itu namun apakah selama 12 tahun ini kita telah melihat Indonesia yang baru?

Tak terhitung telah ratusan tulisan dimunculkan lewat media, puluhan karya tulis akademis diluncurkan, puluhan manifesto dikeluarkan oleh partai politik, dan terlebih jutaan rintihan dan ceracau frustrasi dari orang miskin di Indonesia ketika mencoba memaknai pertanyaan mengenai Indonesia Baru tadi, tapi semua tenggelam tak terdengar. Di level nasional kita bisa mengapresiasi munculnya lembaga-lembaga baru pendukung demokrasi seperti Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi, bahkan Dewan Perwakilan Daerah serta banyak lagi komisi-komisi baru. Di aras daerah, otonomi daerah juga memunculkan kelembagaan-kelembagaan baru seperti Presidium Dewan Papua dan yang paling mutakhir adalah di Aceh dengan wacana munculnya lembaga super bernama Wali Nanggroe. Hal yang sangat disyukuri pada level ini adalah adanya perbaikan secara kelembagaan politik dan hukum meskipun berbiaya mahal dan belum menjamin juga ke arah lebih baik!

Jika mengamati hal tersebut kita dapat merujuk pada Jeff Haynes dalam bukunya Democracy and Civil Society in The Third World Politics & New Political Movement pada tahun 1997 bahwa paling tidak bahwa secara formal demokrasi sudah berjalan di Indonesia ini dimana Pemilu dapat berlangsung teratur, lembaga-lembaga demokratik juga bertebaran di negeri ini. Apa yang disebut demokrasi formal sudah betul-betul terwujud di Indonesia.

Dalam bukunya tersebut Jeff Hayness membagi demokrasi menjadi tiga macam atau katakanlah model demokrasi yakni demokrasi formal, demokrasi permukaan  dan demokrasi substansial. Apa yang terjadi di Indonesia saat ini seperti dipaparkan di atas adalah tanda apa itu demokrasi formal. Namun kita juga berhak mempertanyakan juga, apakah demokrasi permukaan yang sebenarnya berjalan. Kita semua membanggakan pelabelan yang dibuat oleh US dan banyak lembaga riset demokrasi internasional yang mengatakan bahwa Indonesia adalah Negara Demokratis terbesar Ketiga di Dunia setelah AS dan India. Dengan citra inilah pemerintah pasca reformasi termasuk saat ini dapat voucher untuk mendapatkan bantuan ini itu baik yang berembel utang maupun hibah. Ibarat make up, itu lah kosmetik Indonesia. Demokrasi ibarat bedak yang digunakan untuk menutup cemang-cemong riil tata laksana pemerintahan dan perikehidupan sosial masyarakat. Ujung-ujungnya ya bantuan tadi itu, utang tadi, dan mentok-mentoknya adalah investasi asing.

Demokrasi permukaan ini sebetulnya cuma fantasi saja menurut Hayness karena hanya bermotif ”supaya dilirik” dan indikator terkuatnya adalah perubahan kelembagaan dan citra demokratis ini tidak diikuti oleh perubahan penguasa. Kita bisa lihat saat ini bahwa yang bercokol di kekuasaan adalah orang-orang yang dulu menikmati cipratan rejeki dari despotisme Orde Baru termasuk SBY sendiri. Partai penguasa mayoritas adalah orang lama juga, dan lebih buruk lagi pada partai gurem yang isinya cuma orang-orang Orde Baru yang sakit hati karena ngga dapat jatah kue kekuasaan lagi.

Demokrasi substansial dimana tata laksana pemerintahannya adalah berdasarkan keberpihan pada dan pelibatan rakyat jelata,  kaum miskin, perempuan, kaum muda, golongan minoritas keagamaan dan etnik dalam pelaksanaan agenda politik di suatu negara rasanya masih sangat jauh dari apa yang dicitakan. Partai politik saat ini adalah contoh utamanya. Partai Politik yang seharusnya menjalankan fungsi pendidikan politik, komunikasi politik serta fungsi rekrutmen politik secara substansial sama sekali jauh dari pencapaian itu. Omongan yang selalu terdengar tiap  tahun hanyalah masalah siapa yang akan maju jadi calon presiden, calon gubernur, calon bupati dll. Parpol hampir tak ada yang punya ideologi atau platform tertentu, semuanya tampak sama saja, apalagi kalau sudah bicara masalah transaksi politik alias dagang sapi, yang hitam sama putih pun bisa bergandengan tangan, setan dan malaikat pun bisa satu selimut. Politik Indonesia memang unik, itu positifnya, dan antiteori itu untuk negatifnya.

Demokrasi Indonesia pada saat ini bukanlah kekuasaan oleh rakyat melainkan apa yang disebut Oligarki yakni kekuasaan yang dikendalikan oleh sekelompok elit saja. Apa yang dilakukan pemerintahan saat ini khususnya pada periode kedua kekuasaan SBY menunjukkan apa yang dikatakan oleh Tri Chandra dari ELSAM sebagai ajakan bagi elit politik baik dari kalangan aktivis maupun parpol untuk ikut melakukan senam indah bersama dalam kolam renang oligarki (Menakar Kepemimpinan Nasional, ELSAM, Desember 2010). Oligarki yang berisi transaksi-transaksi ini kemudian melahirkan perilaku saling melindungi antar pelakunya bahkan di muka hukum. Hukum yang merupakan benteng terakhir demokrasi pun diobok-obok. KPK ibarat cuma tukang sapu jalanan yang hanya bisa membersihkan sebagian kotoran karena ketika kotoran satu bersih muncul kotoran lain yang lebih besar dan rame-rame lagi ngotorinnya!

Olok-olok saja yang sekarang bisa bicara, akademisi dibungkam segala argumentasinya, hasil kajian ilmiah cuma dianggap sampah tak berguna bagi politik. Apa lagi yang masuk akal di negeri ini. Dewa Maling jadi tuhan, garong uang rakyat dilindungi mati-matian, terdakwa bisa jadi bupati, napi bisa jalan-jalan, mantan napi bisa jadi ketua PSSI, mafia hukum disembunyikan dengan rapi di kamar penguasa, penegak hukum cuma jadi pembersih (maaf) pantat koruptor. Dan ini berlaku juga sampai di daerah di mana muncul dinasti-dinasti penguasa yang melibatkan anak istri mertua menantu cucu ikutan menjarahi uang rakyat. Kebijakan yang disusun bukanlah demi kepentingan rakyat umum seperti arti res publika pada awalnya namun hanya untuk memenuhi syahwat memperkaya diri, keluarga dan kelompoknya. Bagaimana mungkin milyaran uang rakyat malah dipakai untuk mengganti kerusakan yang dibikin Bakrie dkk di Sidoarjo dan  bukannya minta pertanggungjawaban Bakrie.

Ada nama khusus untuk kekuasaan seperti ini, kekuasaan yang semata untuk merampok rakyatnya sendiri untuk kekayaan diri yakni Kleptokrasi. Kleptokrasi diartikan sebagai pemerintahan yang mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari intitusi negara yang korup untuk memperkaya diri dan kelompoknya, biasanya melalui penyalahgunaan anggaran negara. Pendeknya Pemerintahan yang dipegang oleh Para Maling.

Menimbang-nimbang kondisi ini, saya tiba-tiba teringat pada sebuah film pada tahun 2006 lalu berjudul ”V for Vendetta”, film yang diangkat dari novel seorang Anarkis bernama Alan Moore. Film ini bercerita mengenai seorang anarkis yang membawa dendam besar akibat perlakuan buruk pemerintah fasis di Inggris namun terpaksa tinggal di negara yang rakyatnya takut untuk bersuara akibat represi negara. Dendamnya tak pernah tenggelam dan setiap tanggal 5 November dijadikannya momentum pengingat bahwa ada yang tidak setuju dan bisa melawan para fasis ini (sebagai info di Inggris tanggal 5 November benar-benar hari penting yang dikenal sebagai Gunpowder Treason dan Bonfire Night memperingati gagalnya usaha peledakan parlemen Inggris oleh Guy Fawkes dkk pada abad 1605.pen). Dan begitulah, tiap tanggal 5 November sang anarkis bernama V ini punya ritual meledakkan gedung pemerintahan fasis ini dan menghabisi para penguasa korup.

Terus terang film ini cukup menghibur dan bermakna buat saya tapi saya ngga sampai membayangkan hal seperti itu terjadi di Indonesia namun mestinya para penguasa negeri ini ingat bahwa orang marah dan frustrasi bisa melakukan apa saja di luar kendali, chaos adalah keniscayaan bila penguasa terus menerus menggerus negara dan rakyat ini. Jangan remehkan rakyat marah!

So kembali ke kata bijak sang penyair di depan tadi, perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa. Maka marilah kita mengingat kebusukan-kebusukan para politisi ini dan jangan pernah mau menggadaikan kedaulatan kita pada orang-orang busuk seperti mereka. Siklus pemilihan presiden, kepala daerah, parlemen nasional maupun daerah adalah ujian apakah kita ini rakyat yang cerdas atau tetap mau dibodohi oleh janji-janji politisi yang kita tahu semua adalah omong kosong. Apakah rela kita menjadikan maling sebagai penguasa kita? Cukuplah seharusnya rakyat digiring kayak bebek dan biarkan penguasa tahu bahwa rakyat menolak mereka. Mengutip ucapan V dalam film tadi ”Rakyat tak boleh takut terhadap penguasa, penguasa lah yang harus takut pada rakyat” (ll)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline