Lihat ke Halaman Asli

Yopi Ilhamsyah

Herinnering

Kuntilanak di Daerah Bekas Sungai

Diperbarui: 26 Juli 2022   12:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gerbang masuk komplek perumahan dinas di malam hari. Pohon Asam rimbun tumbuh di pinggir jalan dekat gerbang (sebelah kiri). Foto: Dokpri.

Kembali ke rumah dinas setelah sekian lama merantau ke tatar Sunda, saya disuguhi pemandangan komplek yang telah jauh berubah. Ingatan saya menerawang pada paruh kedua tahun 2006, kala itu seorang pimpinan mengabarkan bahwa nama saya tercantum sebagai salah seorang penerima bantuan rumah. Rumah-rumah ini diperuntukkan bagi korban Tsunami 2004 yang berkhidmat sebagai dosen dan tenaga kependidikan di salah satu universitas di Banda Aceh. Alhamdulillah, saya seorang korban yang masih diberi kesempatan menjalani periode kehidupan selepas musibah ombak besar di akhir tahun 2004. Saya pun mencari tahu lokasi tersebut dan menemukan 100 unit rumah telah berdiri di tanah milik universitas yang berlokasi di utara. Rumah-rumah ini berukuran 36 meter persegi, dibangun atas prakarsa Islamic Relief Turki.      

Usai tersambung arus listrik, saya segera pindah dari kos-kosan ke rumah bantuan baru ini.

Saat mulai tinggal di sini, suasana komplek masih sangat sepi. Penghuni rumah-rumah dinas ini masih sedikit dan kebanyakan mereka menempati blok belakang. Saya mendapati diri saya seorang diri sebagai penghuni di blok depan yang menghadap ke barat, rumah-rumah di sekitar masih kosong, belum ditempati. Jalan masuk berikut jalan-jalan penghubung antar blok masih berupa tanah, ketika hujan jalanan menjadi sangat becek dengan kubangan air di mana-mana. Komplek perumahan dinas ini terpisah dari kampung terdekat. Tanah tempat dibangunnya komplek ini adalah lahan milik universitas yang digarap menjadi kebun oleh warga sekitar.  

Hari-hari saya mendapati suasana hening, sesekali terdengar ketukan di kejauhan dari rumah yang sedang direhab. Malam hari suasana sangat gelap, penerangan hanya tampak di beberapa rumah di blok belakang.   

Pernah saya memindahkan lemari menggunakan becak barang di malam hari. Suasana gelap di luar membuat kami harus meninggikan gas becak motor agar nyala lampu lebih terang.

Perasaan takut kerap muncul jelang malam, sesekali di luar ada lalu lalang pekerja bangunan. Terkadang saya memutari komplek menggunakan senter, bau cat masih kuat tercium, ketika berpapasan kami saling menyapa dan mengobrol.

Jelang tengah malam, suara jangkrik mendominasi. Untuk menghilangkan ketakutan, biasanya saya menyalakan lampu di setiap ruangan, membesarkan suara televisi dan mengatur waktu untuk mematikan televisi secara otomatis seraya memejamkan mata agar segera tertidur.  

Di suatu subuh, saya terbangun pada pukul 04.00 WIB. Waktu sholat subuh masih satu jam lagi. Saya mencoba menutup mata agar kembali tertidur. Namun, tidak kunjung tertidur. Boleh jadi karena malam itu saya cepat tidur. "Pergi ke mushola saja-lah sambil jalan-jalan pagi," pikir saya dalam hati. Cuaca pada subuh itu terasa dingin sekali. Kondisi cuaca di pagi hari dapat menjadi indikator kondisi cuaca yang akan terjadi di siang hari.

Biasanya jika subuh terasa dingin maka siang harinya akan terik sementara jika subuh terasa gerah maka siang harinya akan turun hujan.

Suasana di luar seperti biasa sangat gelap dan hening. Baru keluar dari pintu, suara ombak pecah dari tepi pantai terdengar nyaring, seketika bulu kuduk merinding mengingat kejadian Tsunami beberapa waktu lalu. Oh ya, komplek ini hanya berjarak 2 kilometer dari bibir pantai di utara. Kala bulan terang, tepi pantai dapat terlihat jelas dari rumah saya dengan hanya dihalangi beberapa pohon kelapa yang masih tersisa. Kejadian Tsunami telah "membersihkan" wilayah di sekitar pantai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline