Lihat ke Halaman Asli

Yopi Ilhamsyah

Herinnering

Kolonel Hujan di Tengah Palagan (Bagian 2)

Diperbarui: 21 April 2020   12:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mobil yang saya kendarai berbelok ke jalan raya menuju Kota Banda Aceh. Hujan lebat membuat kaca depan mobil bagian dalam berembun, jadilah saya melambatkan laju kendaraan.

Jalan Ulee Lheue-Banda Aceh konon adalah jalur yang dilalui serdadu Belanda menuju keraton. Sebelum Tsunami 2004, sepanjang jalan ini ditanami Pohon Asam Jawa di pinggirnya. Pohon Asam Jawa berbatang besar serta berusia tua yang menjulang tinggi membuat dahannya menutupi langit, meneduhkan jalan Ulee Lheue-Banda Aceh kala itu.

Menurut catatan warga yang dimuat dalam Harian Serambi Indonesia, terbit di Banda Aceh tanggal 22 Januari 2020 berjudul “Menerka Dalil Belanda Tanam Asam Jawa” oleh Bapak Muhammad Afnizal disebutkan bahwa Pohon Asam yang berada di Aceh ditanami oleh Belanda dengan tujuan meneduhkan jalan karena memiliki daun yang lebat namun berukuran kecil sehingga tidak menyemakkan jalanan kala berguguran. Jadi untuk mengetahui apakah jalanan tersebut jalan lama peninggalan Belanda, kenali dengan keberadaan Pohon Asam Jawa di pinggirnya!.

Kendati jalan raya Ulee Lheue-Banda Aceh menjadi rute yang dilewati serdadu Belanda kala menuju keraton kesultanan, uniknya Belanda sendiri tidak mengetahui dengan pasti di mana persisnya lokasi keraton. Dalam buku saku perwira hanya ditulis “…keraton adalah sebuah tempat yang luas dan besar, terdiri dari berbagai kampung dan dihuni sekitar 6 ribu jiwa” (catatan sejarah Paul van’t Veer). Medan di Aceh tempo dulu dipenuhi semak belukar dan pepohonan tinggi. Sontak pengamatan menjadi sulit. Seketika pasukan menemukan ciri-ciri dimaksud di sebuah lokasi, mereka langsung menggempur.

Beberapa saat kemudian mereka menyadari ini bukan keraton melainkan sebuah mesjid besar dengan halaman luas dikelilingi tembok-tembok menyerupai benteng. Mesjid ini menjadi basis laskar Aceh. Mesjid ini adalah Mesjid Raya Baiturrahman yang berada di jantung Kota Bandar Aceh Darussalam (nama Banda Aceh kala itu). Mengerahkan bala tentara berjumlah besar, Belanda masih harus bersusah payah merebut mesjid raya.

Taktik bumi hangus yang diterapkan Belanda atas mesjid raya menyulut kemarahan rakyat Aceh. Benteng mesjid ini kemudian direbut kembali oleh pejuang Aceh. Belanda mundur ke sebuah lokasi di tengah areal persawahan yang berada diluar jangkauan meriam laskar Aceh. Lokasi ini kini diyakini berada di sebuah tempat di Kampung Punge.

Di tempat ini, Belanda mendirikan bivak sembari menyusun strategi dalam menghadapi kegigihan para pejuang Aceh. Nyali serdadu Belanda seketika ciut kala mendengar pekikan takbir yang menggema di angkasa Bandar Aceh Darussalam pada malam hari.

Belanda mulai menyadari ekspedisi di Aceh tidak mudah, tidak sesederhana strategi Mayor Jenderal Kohler kala memberi pengarahan kepada pasukannya di Pantai Cermin Ulee Lheue. Ketika itu dengan angkuhnya Kohler mengatakan maju ke keraton, gempur tanpa ampun, serukan penyerahan tanpa syarat, lazimnya pengalaman kolonial Belanda dalam berbagai palagan di Nusantara.

Dari Ulee Lheue, Kohler menerima laporan dari Kapten Laut Koopman bahwa musim hujan akibat Muson Asia segera tiba, ditandai dengan telah turunnya hujan. Kohler mengingat kembali perjalanan mereka kala menuju keraton tempo hari. Jalanan berlumpur di antara rawa-rawa yang airnya meluap menyulitkan gerak pasukan berskala besar. Kohler kembali menyiagakan pasukannya untuk bergegas merebut kembali mesjid raya.

Sebenarnya musim hujan periode April-Mei ini pula yang mendesak pemerintah kolonial untuk menyegerakan ekspedisi ke Aceh. Karena mendadak, ekspedisi disiapkan dengan tergesa-gesa. Terlihat dari laporan intelijen yang tidak secara jelas menggambarkan lokasi dan bentuk keraton. Beberapa batalyon belum berlatih dengan senapan jenis baru Beaumont. Kapal-kapal angkutan milik Angkatan Laut yang tidak memadai dan sudah dalam kondisi tua sehingga harus menyewa kapal-kapal swasta milik perusahaan Inggris.

Serdadu Belanda beserta artileri dan orang-orang pendukung ekspedisi berjumlah ribuan menyesaki kapal-kapal uap yang sebagian mengalami kerusakan. Waktu tempuh Batavia/Jakarta-Aceh yang sedianya satu minggu malah molor hingga dua minggu setelah dua kali transit di Singapura dan Pulau Penang, Malaysia. Maklumat keputusan perang diumumkan tergesa-gesa tanpa mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan bagi Belanda sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline