Lihat ke Halaman Asli

Muenchen Bawa Dua Kutukan Real Madrid

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Dengan modal dua kutukan, Muenchen datang ke Bernabeau. Real Madrid kerap kali kalah berhadapan dengan tim yang pandai mematikan serangan sayap dan menguasai lini tengah. Kedua hal itu, sayap dan lini tengah, adalah jantung permainan Madrid.

Itulah mengapa, Real Madrid lebih banyak bertekuk lutut berhadapan dengan Barcelona. Klub Catalan itu sangat mengerti untuk mematikan pergerakan lapangan tengah Madrid dan membunuh kerja kreatif pemain sayap Madrid. Ketika Puyol dan Pique sedang fit. Dani Alves dan Mascherano mampu menutup lubang Ronaldo, Benzema, dan Higuian. Lalu Xazi dan Iniesta bertiki taka sebagai pelayan Messi, Madrid lebih banyak frustrasi dan akhirnya berjuang melawan dirinya sendiri. Dengan mudah, bola bisa disarangkan ke gawang Madrid oleh pemain pengganti sekalipun.

Dengan melihat susunan pemain yang dipasang Jose Mourinho pada paruh kedua semifinal Liga Champions tahun ini, pola permainan Madrid bakal tidak akan bergeser. Tiga penyerang: Ronaldo, Benzema, dan Higuian tetap menjadi trisula yang disokong penuh oleh Kaka, Ozil, Khedira, Xabi Alonso, Di Maria, Ramos, dan Marcelo.

Muenchen seharusnya sudah belajar banyak dari rekaman kekalahan Real Madrid. Dengan kesimpulan, Madrid hanya bisa dikalahkan dengan permainan ‘tiki taka’ dan kombinasi bertahan-menyerang yang mematikan. Kutukan pertama Madrid ialah ‘tiki taka.’

Muenchen memang layak menghadirkan kutukan ‘tiki taka’ untuk Madrid, karena:

Pertama, ada sesuatu yang salah dari Ozil dan Khedira sehingga keduanya tidaklah bersinar gemilang sesuai harapan Jose Mourinho ketika keduanya membela Tim Panzer Jerman. Ozil dan Khedira adalah elemen yang terpisahkan dari kawan-kawan seangkatannya di Tim Panzer. Mereka begitu padu terutama dengan Bastian Schweinsteiger, Philipp Lahm, Thomas Müller, bahkan Manuel Neuer. Sayangnya, penceraian itu kurang membahagiakan untuk sisi Ozil dan Khedira.

Sementara itu, teman-temannya yang lain sangat menikmati keluarga besarnya di Muenchen. Ketika mereka dipersatukan Muenchen, spirit yang terbentuk di tim nasional serta merta menjalar. Spirit itu bernama ‘tiki taka’ ala Jerman.

Kedasyatan ‘tiki taka’ Tim Panzer Jerman sudah terbukti pada ajang Piala Dunia dan Piala Eropa lalu. Tim Panzer yang dibesut Joachim Loew tersebut hanya kalah dari Spanyol, tempat ‘tiki taka’ tersebut lahir. Kedua-duanya setara, cuma faktor keberuntungan yang menyebabkan Tim Panzer itu kalah.

Hal ini memang perubahan besar dari genre permainan Jerman, yang selalu terlambat panas, daripada bertarung sejak awal di lini tengah dan menyerang. Perubahan radikal itu berkat komitmen Bundesliga yang dikomandani Otoritas sepak bola Jerman, Deutscher Fubball Liga (DFL). Pemain-pemain muda Jerman adalah produk akademia sepak bola Bundesliga yang terorganisir secara baik. Karena itu pula, Ozil dan Khedira menjadi anak yang hilang dari kerabat ‘tiki taka’ ala Jerman.

Pemain-pemain Madrid dibentuk dari kolektivitas Los Galaticos. Satu-satunya yang memotivasi mereka adalah spirit klub dan bukan harga diri bangsa. Karena itu, kombinasi ego, persaingan kultural, dan manajemen skill menjadi salah satu masalah yang tipis untuk diperalat. Hanya dengan memprovokasi, kolektivitas Los Galaticos itu akan berbenturan satu sama lain dan Madrid akan kehilangan tajinya. Ini yang selalu menjadi tantangan Mou, kelemahan Madrid di setiap laga besar dan kontroversial seperti Semifinal Liga Champions ini.

Kedua, Franck Ribéry, Arjen Robben, dan Mario Gomez adalah ujung tombak haus gol yang setiap saat bekerja untuk mentransfer keajaiban Panzer. Kendati dari tiga negara berbeda, ketiganya sudah seperti Panzer dengan amunisi yang tidak pernah habis.

Dibandingkan dengan tiga trisula Madrid, Ribery, Robben, dan Gomez adalah tipe penakluk yang selalu bekerja keras. Mereka terus mengejar, memporak-porandakan, dan saling percaya satu sama lain. Ribery kadang emosional dan beradu mulut bersama Robben dan Gomez. Tetapi, ketiganya selalu mencari celah kosong untuk menceploskan gol. Tiga-tiganya, ditambah Olic dan Boateng adalah individu yang bisa mengubah permainan di saat Muenchen membutuhkan keajaiban.

Alhasil, Muenchen tiada bedanya dengan ‘tiki taka’ Barca. Bahkan, lebih dasyat dari yang dimiliki Barca. Karena mereka tidak saja bisa bermain mengalir dari kaki ke kaki, terstruktur, dengan irama yang stabil dan olah bola yang cantik,  tetapi juga memiliki kombinasi bertahan dan menyerang yang mematikan. Muenchen adalah kombinasi  Barcelona dan Chelsea.

Kerja keras Mou adalah meredam sifat ego dan mental tuan dari tiga trisulanya. Kendati Madrid telah berubah menjadi klub dengan mesin gol tersubur saat ini, pada kenyataannya trisula Madrid sering tumpul jika bermain di level pertandingan dengan tensi dan gengsi besar. Ketiganya sama-sama ego, sama-sama berharap dilayani, dan terlibat banyak dalam upaya membuang bola tanpa arah.

Ketiga, inilah kutukan kedua Madrid. Di hati kecil Mou, sesungguhnya dia tidak menginginkan Madrid berhadapan dengan Chelsea di kancah Liga Champions. Lebih baik Madrid berhadapan dengan Barca, ketimbang Chelsea. Pasalnya, dia harus melawan urat nadinya sendiri karena terlanjur menyanjung Di Matteo sebagai penerus fondasi sepak bola di Chelsea. Menang dari Muenchen berarti Mou harus melawan dirinya sendiri, taktiknya sendiri, dan kreativitasnya sendiri. Inilah yang menyebabkan Mou menarik diri ke sudut refleksinya dan membiarkan anak asuhannya bebas menentukan sendiri nasibnya.

Mou buru-buru mengatakan, Muenchen tentu saja bisa mencetak gol di Bernabeau karena tekanan atas dirinya terutama ketika mengetahui Chelsea yang maju ke final, jauh lebih kencang dari pada tekanan atas laga kandang melawan Muenchen. Tak pelak, Mou tidak akan beringas sebagaimana dirinya selalu berada di baseline wasit. Mou sedang melawan dirinya sendiri.

Satu-satunya alibi kemenangan Mou adalah faktor tuan rumah dan gengsi sepak bola Spanyol atas Jerman. Ketika Barca telah tumbang dan menggugurkan imajinasi penonton akan final el clasico di Liga Champions, Madrid menyisakan diri sebagai salah satu wakil dari duel seteru abadi dua klub yang ditonton paling banyak di dunia. Desakan manajemen Madrid untuk memenuhi oase gelar Liga Champions menjadi alasan yang menyokong alibi tersebut.

Karena itu, entah Madrid atau Muenchen, siapapun yang paling siap memenangkan pertandingan secara mental, fisik, teknik, strategi, dan emosi, dialah yang menjadi pemenang. Jika dan hanya jika, Muenchen menghadirkan ‘tiki taka’, Madrid akan tertunduk lesu di kandangnya sendiri.(*)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline