Lihat ke Halaman Asli

Gereja Harus Bertobat

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Segera di toko buku anda! Penulis: Alexander Yopi

Harga: Rp 45.000

Penerbit: Lamalera

Tgl Penerbitan : Juli 2011

Bahasa: Indonesia

Halaman: 158 hal

Ukuran: 120x190 mm

Kendati melakukan banyak perbuatan besar dan mukjizat, Yesus tidak serta merta disebut Tuhan. Sebagian mengenal Yesus sebagai Yohanes Pembabtis, Elia, atau nabi-nabi terdahulu yang bangkit (bdk Luk 9:18-19). Orang farisi, ahli Taurat, dan pemerintahan Romawi malah menganggap Yesus sebagai penentang, pemberontak, dan penghujat tradisi Yahudi.Hingga akhirnya Yesus wafat di salib, semua orang pun tidak serentak mengamini bahwa Yesus adalah Tuhan. Banyak yang menyesal bahkan ikut menyoraki Dia sebagai tokoh pembebas yang gagal. Sementara itu, para murid-Nya yang dekat dengan hidup dan karya-Nya tercerai berai dan kebingungan dengan nasib Sang Guru. Ada yang menyangkali Yesus, ada yang bunuh diri, dan ada yang bersembunyi tak tahu rimba.

Namun, berkat kehadiran Yesus yang melampaui ruang dan waktu, yang ditandai dengan kebangkitan lalupenampakkan, Dia telah menunjukkan betapa kehadiran-Nya selalu konsisten dari awal hingga kini. Iman dan keyakinan akan Sang Guru itu pelahan-lahan menjelma menjadi jawaban atas kehidupan, menjadi pintu gerbang menuju mukjizat dan perbuatan besar dalam kenyataan. Lantas, Dia yang semula hanyalah manusia biasa, seperti karunia yang diperoleh Yohanes Pembabtis, Elia, atau nabi-nabi terdahulu kini disebut sebagai Tuhan oleh jumlah sebanyak pasir di laut dan bintang di langit.

Kepenuhan janji itu sudah nyata dalam diri Yesus. Tuhan kini telah menjamah manusia menurut arti kedagingan dan kemanusiaan melalui peristiwa inkarnasi. Ternyata, Tuhan itu begitu dekat, hidup dalam, bersama, dan menjadi manusia. Dia memahami diri-Nya dalam cawan manusia untuk berkomunikasi seturut dinamika ciptaan-Nya dan menyakinkan diri-Nya sendiri bahwa kerinduan terbesar ciptaan-Nya adalah berada dalam Rumah Bapa.

Berkali-kali Tuhan ingin menguji kesetiaan manusia, ingin meyakinkan diri-Nya sendiri bahwa manusia sedang mencari diri-Nya. Ujian itu semula dititahkan melalui janji kepada Abraham, Ishak, Musa, Yakub, kemudian kepada bangsa Israel dan berpuncak pada Putera-Nya yang menjelma menjadi manusia. Keyakinan itu menjadi purna oleh kerinduan yang teramat sangat akan seruan Putera di salib: Eloi Eloi Lamasabaktani! Bapa tidak cukup hanya dengan mendengar keluh kesah Putera, “Biarlah cawan ini lalu daripada-Ku, tetapi bukan kehendak-Ku melainkan kehendak-Mu.” Hanya dengan “Allah Ya Allahku mengapa Engkau meninggalkan Daku,” mata hati Bapa pun impas.

Manusia, sebentuk Putera di salib, pada ujian demi ujian, pada salib demi salib, keluh kesahnya hanya terarah pada kerinduan untuk kembali ke Tanah Terjanji yaitu Rumah Bapa.

Pada tahap tersebut, Bapa pun menjadi maklum. Bahwa pengakuan iman dan pencarian akan Tuhan tidak bisa dipaksakan, apalagi melalui hukuman serupa kutukan atau tulah. Bangsa Israel mengalami “kemurkaan Allah” karena Tuhan cemburu atas hati manusia yang seolah-olah mendua tersebut. Karena itu pula, Bangsa Israel dicintai-Nya melebihi bangsa-bangsa lain. Melalui Putera-Nya, Bapa menyimpulkan bahwa kembali ke Rumah Bapa membutuhkan sebuah proses. Bahwa Bapa akan membiarkan anak-anak-Nya memilih jalannya hingga akhirnya anak itu pun berseru “Eloi Eloi Lamasabaktani” seperti seruan kerinduan Putera-Nya kembali ke pangkuan Bapa.

***

WS Rendra, Si Buruk Merak itu, pernah melontarkan pujian kepada suku bangsa Flores. Dalam orasinya berjudul “Selamatkan Kekayaan Negara dengan Kedaulatan,” Rendra memuja Flores sebagai suku bangsa yang tidak pernah ditaklukkan di Tanah Air. “Begitu kuatnya budaya yang melasaki jiwa orang-orang Flores itu, sehingga mereka memiliki kedaulatan dalam dirinya sendiri,” kata Rendra. “Yang terjadi di Flores adalah perpaduan yang kental antara budaya lokal dan budaya modern, antara agama dan kepercayaan tradisional, antara bumi, air, api, dan manusianya.”

Demikian juga kehadiran para misionaris awal di bumi Flores. Betapa takjubnya mereka dengan kepercayaan agama alam yang sudah bertumbuh di Flores, sehingga pewartaan akan kabar gembira Kristus itu tidak perlu disampaikan dengan susah payah. “Mereka telah beriman,” sebelum mengenal Kristus. Bahwa Flores adalah gens naturaliter Christiana, sebuah bangsa yang secara alamiah bersifat Kristen. Mereka hanya perlu dijelaskan bahwa yang diimani sebagai sesuatu yang tidak dikenal itu adalah Kristus. Karena itu pulalah, agama Katolik mendapat tempat yang istimewa di hati masyarakat Flores.

Kendati secara alamiah sudah bersifat Kristen, Flores tetaplah gens candida sed ruda, sebuah bangsa yang suci namun terkebelakang. Selanjutnya karya keselamatan Kristus di bumi Flores itu hadir bersama upaya pencerdasan dan modernisasi. Kabar gembira tersebut tidak boleh berhenti hanya pada pembabtisan, tetapi perlu bekerja menjawabi tantangan zaman. Sebab kehidupan iman, yang bersandar pada sabda dan janji tidak bisa mengelak dari pemenuhan kebutuhan manusiawi.

Setelah Sang Guru mengajar dan ingin mengasingkan diri dengan perahu ke tempat sunyi, banyak orang malah mengikuti Dia. Hingga menjelang malam, orang banyak itu tidak juga beranjak pergi. Lalu, murid-murid Sang Guru meminta Dia untuk menyuruh banyak orang itu pergi supaya mereka dapat membeli makanan di desa-desa.

Namun, Sang Guru berkata lain, “Tidak perlu mereka pergi, kamu harus memberi mereka makan.” Lalu para murid-Nya memberikan lima roti dan dua ikan kepada Dia, dan Dia pun memecahkan roti sehingga semua orang bisa makan.(bdk Matius 14:13-21)

Misionaris awal di Flores membesarkan iman umat melalui pendidikan, pertanian dan perkebunan, pertukangan, dan peternakan. Mereka sadar betul bahwa tantangan zaman, terutama bermuara pada persoalan keterbelakangan di satu sisi dan modernisasi di sisi lain akan menghimpit sabda Tuhan itu di sebuah tanah kersang. Alhasil, benih itu sebagian hanya akan jatuh di pinggir jalan, di tanah berbatu-batu, di tengah semak duri, tanpa bisa berbuah banyak (bdk Mat 13:1-9). Karena itu, iman umat di Flores itu perlu terus didampingi dan dipupuk sehingga benih yang sudah ditaburkan tersebut tumbuh gemuk pada lahan yang subur.

Sama halnya dengan perbuatan besar Yesus memberi makan lima ribu orang supaya sabda Tuhan yang sudah diwartakan itu tumbuh subur dan berbuah banyak. Melalui pewartaan yang kontekstual tersebut, para misionaris awal di Flores memperoleh banyak tuaian. Gereja di Flores pada masa itu menjadi sangat berkarakter karena berwajah manusiawi dan berhasil membawa iman umat pada kemenangan salib. Iman para misionaris yang bersumber pada inkarnasi, pada gerak memahami tantangan zaman, pada kerelaan untuk dilahirkan kembali bersama cawan Flores akhirnya mengubah perwajahan iman masyarakat Flores secara kontekstual.

***

Kontekstualisasi selalu dalam arti aplikasi. Kontekstualisasi bergerak antara kondisi dan teks. Kontekstualisasi akan berhenti menjadi aplikatif jika teks tidak bisa menjawabi kondisi riil dan kondisi riil tidak mampu mengilhami teks berbicara. Karena itu, kontekstualisasi tidak bisa dibaca dan diterjemahkan sekali.

Upaya yang sudah dilakukan misionaris awal sebagai langkah menyuburkan iman umat sudah berjalan bertahun-tahun. Dalam daur waktu itu, tantangan zaman masyarakat dan umat di Flores pun berubah. Sayangnya, perubahan masyarakat dan umat di Flores saat ini justru dibalut dengan stigma kemiskinan. Telah lama Gereja hadir, bahkan makan dan minum dari bumi Flores sejak para misionaris awal memperkenalkan Kristus. Kendati demikian, Flores tidak pernah beranjak dari stigma kemiskinan. Apa yang Gereja lakukan sampai Flores tetap miskin?

Ketika misionaris awal membesarkan iman umat di Flores, mereka serentak memperkenalkan ilmu pengetahuan dan daya penerobosan budaya alternatif melalui pendidikan yang mengikuti arus zaman. Flores saat itu bahkan lebih intelektual ketimbang masyarakat pulau lain di daratan Indonesia. Pertanian, perkebunan, peternakan, pertukangan merupakan cara pandang Gereja memperbanyak dua ekor ikan dan lima ketul roti sehingga bisa memberi makan banyak orang. Gereja tanpa takut bersentuhan dengan dunia.

Di luar Flores, ilmu pengetahuan yang bermuara pada keterampilan dan spesialisasi saat ini berkembang dengan cepat. Pertanian, perkebunan, peternakan, pertukangan sudah bukan masalah tradisional. Berbagai pola industrialisasi, fabrikasi, dan kapitalisasi yang bertumpu pada manajemen dan jiwa wirausaha yang profesional mengubah pola mata pencaharian tradisional tersebut. Fisik dan olah alam bukan lagi tujuan utama. Fisik dan olah alam hanya merupakan pemicu untuk pengembangan sumber daya manusia. Sementara itu, pintu investasi dibuka supaya arus modal bisa menjalari aktivitas ekonomi.

Gereja, masyarakat, dan umat di Flores justru tengah berhenti berproses. Pengetahuan, keterampilan, dan manajemen lama terus dipertahankan. Ketika daerah-daerah lain mulai merasakan buah dari mata rantai ekonomi akibat keterbukaannya pada perubahan cara pandang, pengetahuan, keterampilan, dan manajemen yang selaras zaman, Flores tetap pola lama. Tidak heran Flores pun ketinggalan. Iman dan denyut nadi kehidupan umat dan masyarakat pun berada di ambang krisis.

Kemiskinan hanya merupakan satu indikasi dari sekian banyak indikasi yang bakal muncul di Flores akibat kelesuan menghidupkan iman akan inkarnasi Kristus. Ketika agama sudah tidak aplikatif, tidak mampu memberikan lima ekor ikan dan dua ketul roti, iman akan yang ilahi itu kembali masuk dalam gua tak berpengharapan. Persis seperti kondisi para murid yang ditinggalkan Yesus karena mati dan dikuburkan. Rasa frustrasi, gamang, tak punya pegangan menyebabkan iman menjadi sangat kerdil dan rentan untuk dimobilisasi.

Gereja di Flores saat ini terlalu takut dan skeptis dengan segala perubahan yang sedang terjadi di luar. Ketakutan untuk menceburkan diri dalam dinamika dan aktualisasi dunia. Mengadopsi berbagai informasi dan perkembangan baru secara aplikatif. Sumber dari ketakutan itu adalah dikotomi yang tajam antara dunia dan kerajaan Allah. Dunia dan yang profan terlanjur terpasung dalam ideologi sumber dosa. Kelas dua. Materialistik. Jasmaniah. Kapitalistik. Tidak adil. Memiskinan. Mudah luntur dan tidak abadi. Terbalik dengan dunia ilahi. Kerajaan Allah. Yang sakral dan suci. Rohaniah. Bertahan lama. Abadi.

Sikap Gereja di Flores berbeda dengan Gereja universal lainnya yang hidup berdampingan dengan kemajuan zaman. Dikotomi yang dipelihara Gereja di Flores justru diimani Gereja di luar Flores sebagai sebuah tantangan untuk membumikan iman, menginkarnasikan karya keselamatan yang sudah dirintis Sang Guru. Ilmu pengetahuan, industrialisasi, fabrikasi, dan kapitalisasi bukan merupakan cara pandang yang bertentangan dengan hakikat Gereja sebagai tanda dan sarana keselamatan. Dengan menceburkan diri dalam kemajuan zaman itu, gereja sedang melakukan proses inkarnasi untuk secara kritis menawarkan dua ekor ikan dan lima ketul roti supaya bisa dimakan banyak orang.

Banyak dari kalangan Gereja sering berbicara soal investor dan keinginan untuk berinvestasi di Flores sebagai gerbang masuknya kapitalisme. Ketika gerbang itu dibuka, segera sesudah itu kapitalisme akan mencengkeram bumi Flores. Ketidakadilan, kemiskinan, tanah, mata pencaharian masyarakat akan direbut. Ketakutan demi ketakutan pun didaraskan sebagai penyejuk iman, yang sebenarnya lebih merupakan doktrinasi untuk anti terhadap perubahan.

Kemudian legitimasi atas doktrinasi itu dilengkapi dengan penghiburan bahwa "upahmu akan besar di surga." Proses industrialisasi, fabrikasi, dan kapitalisasi adalah semata-mata urusan duniawi, yang tidak abadi. Kemiskinan saat ini lalu dipandang sebagai takdir. Nanti Tuhan Tolong.

Ketika seorang karyawan pastoran atau pekerja di sebuah biara di Flores mendapat upah lebih kecil dari standar upah minimum nasional, Gereja mengklaim bahwa kekurangan dari upah itu merupakan cinta kasih. Bahwa Tuhan akan melihat kekurangan itu sebagai bagian yang akan dilunaskan-Nya sendiri di surga kelak. Namun dalam kenyataan, akibat upah yang kurang itu, lingkaran setan pun menjebak orang, keluarga, dan masyarakat dalam kemiskinan dan keterbelakangan.

Masyarakat dan umat sesungguhnya lapar setelah mendengarkan sabda Tuhan. Tetapi cinta kasih mengusir mereka untuk mencari makan sendiri. Gereja tidak mengindahkan perkataan Yesus, "Kamu harus memberi mereka makan."

Banyak keputusan pastoral Geraja yang diproduksi malah tidak mengindikasikan bahwa Gereja sedang menampilkan profil dirinya sebagai perpanjangtanganan Allah yang sedang berkomunikasi dengan cara yang teramat dekat dan personal. Banyak juga keputusan dan sikap gereja baik secara kolektif maupun personal tidak diproduksi secara matang didapur refleksi yang mengutamakan otokritik dan kritis. Gereja malah mengabaikan orang-orang yang teramat dekat dengan dirinya. Gereja malah membangun kembali Tahtanya yang arogan. Gereja malah mengutamakan dirinya sendiri.

Gereja mengalami kelesuan untuk melakukan otokritik dan kritik. Tidak hanya sekedar melemparkan suara keras seolah-olah suara keras itu mewakili sikap profetis. Gereja malah ikut terpelintir oleh godaan duniawi, memihak yang satu dan memaksa yang lain. Gereja terkotak-kotak dalam penolakan dan pro status quo. Tanpa mendalami lebih jauh substansi, esensi, dan eksistensi sikap penolakan dan pro status quo tersebut.

Ada sebuah proses yang berhenti. Gereja bertindak seolah-olah begitu memahami karya keselamatan Tuhan sehingga memaksa dan lupa berproses. Padahal, Bapa sendiri butuh proses yang panjang sebelum mengamini bahwa keselamatan itu berlangsung secara personal dalam pergumulan manusia dengan pilihannya. Hanya inkarnasi atau gerak menjadi manusia, Tuhan bisa memahami manusia yang seolah-olah berlari di hadapan-Nya. Tuhan sendiri pernah bertobat. Gereja pun harus bertobat.(*)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline