Harmonika yang tercebur ke sungai menjadi puncak kemarahan Merry (Griffit Patricia) atas kenakalan Carlo (Yehuda Rumbini). Alat musik tiup itu menjadi melodi kedekatan Merry terhadap kakak tersayangnya Mauro (Marcel Raymond) yang sudah terpisah dalam rimba tak tentu. Tidak ada lagi harmonika yang menjadi jembatan kerinduan Merry atas Mauro. Carlo pantas dibenci karena memutuskan jembatan kerinduan Merry atas kakaknya Mauro.
Peristiwa revolusi kemerdekaan tanah Timor Timur atau yang lebih dikenal sebagai Timor Leste yang resmi memisahkan diri dari bumi pertiwi menyebabkan keluarga bahagia Tatiana (Alexandra Gottardo) tercerai berai. Sesungguhnya Tatiana, Merry, dan Mauro tidak pernah memilih menjadi pengungsian. Predikat itu dengan serta merta melekat pada diri keluarga itu setelah mereka memilih setia pada Indonesia. Ironis memang, karena sebelumnya mereka adalah warga negara Indonesia, hidup nyaman dan bahagia. Namun, ketika mereka kembali menegaskan dirinya sebagai warga negara Indonesia, memilih setiap pada Pancasila dan Merah Putih, mereka menjadi pengungsi di tanah airnya sendiri.
Nasib Carlo sebenarnya tidak lebih tragis dari kehidupan Tatiana, Merry, dan Mauro. Kalau Merry masih memiliki Tatiana dan Mauro, Carlo adalah sebatang kara. Ayahnya mati dalam perang revolusi, sedangkan ibunya meninggal oleh minimnya perhatian dan kepedulian bangsa ini terhadap nasib saudara seatapnya sendiri. Hidup di bawah standar kesehatan, miskin pendidikan, miskin sandang, pangan, dan papan adalah gambaran dari ongkos yang mesti diterima mereka yang memilih setia pada negara itu di barak pengungsian. Bahkan untuk sebuah cita-cita pun, Carlo tidak sanggup menyebutkan jati dirinya di masa depan karena tenggelam dalam depresi luar biasa atas nasib sebatang kara dirinya itu. “Saya punya cita-cita hanya mau supaya saya berkumpul dengan bapa dan mama,” ujar Carlo.
Film Tanah Air Beta garapan sutradara Ari Sihasale sekurang-kurangnya sedang mengurai dua harmonika yang tercerai berai. Tidak ada lagi lagu Tanah Air Beta. Tidak pula untuk Kasih Ibu. Harmonika itu telah tercebur, karena kecintaan para pengungsi diperbatasan itu tengah dikianati oleh saudara sebangsanya sendiri, bahkan oleh negaranya sendiri. Mereka memilih tetap tinggal di rumahnya Indonesia sebagai Tanah Air Beta, tetapi Indonesia malah memberi mereka identitas baru sebagai pengungsi.
[caption id="attachment_173294" align="alignright" width="450" caption="Seorang pengungsi menggendong anaknya, melintasi jarak yang jauh menuju wilayah Republik Indonesia setelah kerusuhan di Timor Timur pascajajak pendapat 1999. Reka adegan ini untuk keperluan shooting film Tanah Air Beta di daerah Ponu, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT/Admin (KOMPAS)"][/caption]
Pilihan untuk kembali ke Indonesia menyebabkan Ayah, Ibu, dan anak-anaknya tercerai berai. Kebahagiaan sebagai satu keluarga serta merta dicabut dan dicabik-cabik. Ayah mencari ibu dan ibu mencari anak-anaknya. Sementara itu, Merry, Mauro, dan Carlo kehilangan masa ditimang dan dipeluk kedua orang tuanya, kehilangan pengalaman eksistensialnya sebagai kuncup yang baru tumbuh yang seyogyanya membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Demikian nyanyian Kasih Ibu tidak lagi harmonis, bahkan sulit untuk diperdengungkan karena harmonika itu telah tercebur.
Benar bahwa Ari Sihasale tidak berani mengeksplorasi terlalu jauh soal tragis dan pahitnya memilih pulang ke Indonesia sebagai Tanah Air Beta, ketimbang berdiam di Timor Lorosae. Atau, adakah kekecewaan para pengungsi itu memilih pulang ke Indonesia tetapi toh menjadi pengungsi. Benar bahwa film ini seolah cerita pendek yang tidak cukup durasi, dengan cerita yang mudah habis dan sederhana. Seperti sebuah dokumenter, laporan apa adanya yang diberi sinopsis.
Tetapi tindakan Ari Sihasale tersebut sangat humanis. Penceritaan ulang atas nasib tragis dan pahitnya sebuah pengalaman manusia bisa berubah menjadi penghakiman kedua yang memosisikan tokoh dari cerita yang diangkat itu sebagai korban. Penggal kisah terkait pengalaman pahit dan getir manusia yang diceritakan ulang sifatnya mesti membebaskan dan jangan sampai didramatisir sehingga mereka yang berada dalam kisah itu kembali merasa kecewa, dikhianati, rendah diri, dan menyerah dalam hidup. Karena alasan itulah, Ari Sahasale lebih memilih ‘mudah habis’ dan ‘sederhana’ ketimbang mesti harus memberi tangis dan darah kesekian kalinya pada para pengungsi.
Tujuan Ari Sahasale adalah, Merry mesti mendapatkan kembali harmonika yang sudah tercebur. Tanah Air Beta mesti dinyanyikan dengan harmonika yang indah, penuh kebanggaan. Sementara itu, Kasih Ibu menjadi melodi kasih dari bahagianya sebuah keluarga dengan kelahiran baru setelah khaos.
Kalau Carlo, dalam tragis dan keterbatasannya bisa menghadirkan kembali harmonika Merry, menemani dan membebaskan Merry dari kedukaan dan nasib tragisnya dengan melupakan diri sendiri, mengapa bangsa ini tidak bisa berlaku yang sama? Kalau Carlo dengan sepenuh hati menyanyikan Kasih Ibu untuk perjumpaan Merry dan Mauro, selanjutnya membebaskan Tatiana dari rasa bersalah sebagai ibu, mengapa bangsa ini tidak demikian?
Carlo sebenarnya tidak mengharapkan apa-apa dari keikhlasannya menemani Merry, kecuali untuk mengembalikan harmonika yang sudah tercebur. Tetapi yang diperoleh Carlo dari Merry adalah baju baru, dari celengan Merry. Sebuah celengan dari kamp pengungsian dan baju yang sudah disudah dipersiapkan Merry sebagai hadiah terindah untuk kakak tersayang.
Pemberian diri Carlo dibalas Merry dengan kerelaan untuk memberi identitas baru pada Carlo. Secara tidak langsung Merry ingin mengatakan, “Carlo, kau juga orang yang saya kasihi sama seperti saya mengasihi kakak saya Mauro. Kenakan baju baru ini dan kau menjadi kakak saya juga.” Carlo tidak sebatang kara lagi. Dia sudah menemukan keluarga barunya. Harmonika yang tercebur itu kini ditemukan kembali.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H