Lihat ke Halaman Asli

Hiddink, Scolari, dan Capello: Siapakah yang Terbesar?

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Korea Selatan menjadi pembunuh yang menakutkan saat diasuh Guus Hiddink. Nama besar Portugal, Spanyol, dan Italy terkubur oleh sebuah tim yang masuk putaran final Piala Dunia 2002 karena faktor tuan rumah. Sentuhan ‘total football’ Hiddink saat itu terasa begitu pas dengan mental ‘wajib militer’ pemain Korea. Hiddink betul tahu karakter ngotot Korea, lantas mengubah tim tersebut menjadi pekerja keras, dengan serangan yang sistematis, runtut, dan tak mau tahu. Mereka menyerang seperti serigala lapar, berlari seperti dikejar anjing, dan bertahan laksana benteng Versailes.

Sukses Hiddink berlanjut di Australia. Setelah sepak bola Australia tidur selama 32 tahun, Hiddink datang dan memoles tim tersebut hingga lolos ke putaran final Piala Dunia 2006 di Jerman. Faktor Hiddink kembali kental pada kesebelasan Australia. Hiddink membuktikan, ramuan pemain kancah lokal dan liga tak populer tidak bisa dipandang sebelah mata. Jika sebuah tim tersusun dari orang-orang yang tepat pada posisinya, dari manapun asalnya, punya rasa kebersamaan yang solid, tim tersebut telah lahir menjadi raksasa.

Hiddink seperti ‘kuda troya’ saat Rusia mengalahkan Belanda (3-1) di Stadion St Jakob Park, Basel, Swiss, pada laga Piala Eropa beberapa waktu lalu. Ketika itu Belanda dielu-elukan sebagai kandidat kuat juara Piala Eropa karena penampilan tak pernah kalah pada babak penyisihan laga tersebut. Sementara itu, Rusia masih terseok-seok setelah kalah dari Jerman. Namun, Belanda terporak-poranda. ‘Total Football’ milik Hiddink dan Rusia lebih ganas. Hiddink dianggap pengkhianat, seorang ‘TheGreatest Dutch Traitor’ di Belanda, tetapi menjadi pahlawan sejajar kaisar terpopuler Nicholas Tsar II di Rusia.

Seorang pelatih adalah sang motivator. Keutamaan tertingginya adalah telepati. Yang dilihat pelatih bukan sekedar nama besar dan keterampilan individual. Pelatih perlu memahami elan vital atau ngeh yang menggelora dari seorang pemain. Keterampilan individual hanya bentukan kasar, tetapi kematangan, kecintaan, solidaritas, daya juang, dan kebudayaan adalah forma esensial dari roh permainan.

David Beckham dan Michael Owen pantas terlempar dari skuad Inggris besutan Fabio Capello. Pelatih yang terkenal disiplin dan tegas tersebut tidak membutuhkan faktor kebintangan, tetapi totalitas. Kematangan, kecintaan, solidaritas boleh ada pada Beckham dan Owen, tetapi daya juang keduanya sudah luntur. Permainan 90 menit waktu normal sangat butuh titik didih 100 derajat, tanpa menyisakan ruang kehilangan kesempatan sepersekian detik pun. Sekali kesalahan tercetak, blunder atau bunuh diri bakal terjadi. Bagaimana pun juga, kemenangan lebih baik daripada hasil seri atau kalah.

Ketika membawa Brasil juara lima kali di ajang Piala Dunia 2002, Luiz Felipe Scolari tahu betul kelemahan dasar Brasil. Bagi Scolari, sepak bola adalah perang. Kemenangan tidak bisa diraih tanpa persiapan matang, disiplin membaja, dan kebersamaan. Brasil saat itu terlalu individual, mementingkan pesona daripada hasil akhir, tidak efisien dan disiplin dalam bermain. Setelah ‘dikerjain’ Scolari, banyak pihak yang mengkritik Brasil karena meninggalkan sepak bola indah. Namun, ketika trofi Piala Dunia diangkat sang kapten Dunga, semua orang lantas melupakan sentuhan beda Scolari. Padahal, Scolari adalah tokoh belakang layar yang melambungkan Ronaldinho dan Ronaldo saat itu.

Harus diakui, betapa pentingnya tokoh belakang layar dalam setiap kesuksesan yang diraih. Diri sendiri kadang merasa pesimis, tidak sadar akan potensi ‘liar’ yang menggelora dalam diri, boros tidak pada tempatnya, menjadi sangat individual, dan mudah menyerah. Namun, tokoh belakang layar selalu punya pendapat kedua, yang menapis segala pesimisme menjadi optimisme, mematung kita dari bentuknya yang paling kasar menjadi liat, kuat, dan unggul. Mereka tahu menempatkan kita pada porsi yang pas. Sayangnya, banyak yang melupakan tokoh belakang layar setelah meraih sukses.

Genderang perang kini sudah ditabuh. Rusia dan Jerman kembali beradu hadap. Hiddink sudah memompa motivasi Rusia untuk tidak gentar terhadap siapapun. Sementara itu, Jerman masih beraroma nama besar. Selain menyoraki permainan, mari kita mengarahkan sebentuk terima kasih pada tokoh belakang layar.(*)

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline