Kebayang ga sih, gimana suasana kehidupan jaman dulu? Jakarta yang sekarang ini, beda banget loh kondisinya. Banyak hal yang sekarang ada, dulu ga ada. Atau di saat itu ada, sekarang udah ilang ga berbekas. Kalau kita putar waktu, seru juga kali ya hidup di jaman Hindia Belanda. Saat itu masih banyak bangsa Eropa yang tinggal di Indonesia. Jakarta jadi tempat akulturasi budaya.
Batavia. Begitulah orang-orang menyebut Jakarta kala itu. Dari mana ya nama Batavia? Ternyata Batavia mengacu pada nama suku bangsa atau nenek moyang bangsa Belanda. Bayangin deh, di rentan tahun 1920-1940, bangunan-bangunan masih didominasi desain arsitektur Eropa. Jumlah penduduk masih belum sepadat sekarang, jalanan masih cukup lengang. Alat transportasi yang ada di masa itu yaitu mobil, delman, sepeda, dan trem listrik. Sedangkan dari segi penampilan, pakaian bangsa Eropa dan pribumi berbeda. Wanita pribumi umumnya memakai kebaya atau kain batik. Buat Kamu yang pernah main ke Kota Tua atau lapangan di depan Museum Fatahillah, suka liat kan cewek-cewek berkostum noni Belanda. Nah…kayak gitu lah gambaran fashion di masa itu.
Ada beberapa café dan spot favorit yang dijadiin tempat pelesir, berkumpul, atau sekadar ngobrol ringan. Orang-orang di masa itu pergi ke toko Maison dxe Bonneterie dan toko Au Printemps di Jalan The Risjwijk (sekarang di ujung Hayam Wuruk), toko itu masih dapet koleksinya langsung dari Paris. Dalam waktu pertengahan mereka minum kopi di Stam and Wijen, atau beli es krim di Ragusa's. Masih ada ga sih tempat-tempat itu di masa sekarang?
Ketika itu, film bicara baru aja ngegantiin film bisu. Ada sejumlah bioskop kelas satu, kayak Rembrandt Theatre, Globe Bioscoop, Decapark, dan Troelie. Jaman dulu juga ada bintang film yang digandrungi para gadis, yaitu Rudolph Valentino.
Kalau jaman sekarang, sebagian remaja berkumpul di mall ya. Sedangkan di kala itu, pemuda-pemudi pergi ke zwembad (pemandian) Manggarau atau Cikini di Weltevreden saat akhir pekan. Jadi dari jam 11 ada pertunjukan band di kolam renang. Pemuda-pemudi datang ke kolam renang dengan sepeda motor empat gigi, Royal Enfield dan Harley Davidson. Wew, keren ya opa-opa kita di masa itu! Setelah berenang dan denger musik, mereka berdansa, dan kumpul-kumpul untuk minum.
Media hiburan dan komunikasi di jaman itu menggunakan radio. Perkembangan penyiaran radio di Indonesia dimulai waktu pemerintahan Hindia Belanda, tahun 1925 oleh Prof. Komans dan Dr. De Groot. Beliau-beliau ini berhasil melakukan komunikasi radio dengan menggunakan stasiun relai di Malabar, Jawa Barat. Nah, setelah peristiwa itu, muncul deh Batavia Radio Vereniging dan NIROM. Radio amatir yang pake perangkat pemancar radio sederhana juga terus berkembang. Kebayang kan, jaman dulu tuh bentuk radio ga kayak sekarang. Bentuknya masih sangat sederhana. Satu keluarga bisa berkumpul untuk mendengarkan radio bersama-sama. Bahkan orang sekampung juga bisa berkumpul untuk mendengarkan radio bersama-sama.
Buat yang masih pengen bernostalgia dengan suasana Batavia era ’20-’40 an versi komik, baca deh komik Wonder Boven Wonder di CIAYO Comics. di komik ini menceritakan dua anak kecil pribumi yang nyari-nyari radio buat di dengerin, karena ada anak Belanda yang mau siaran. dalam petualangan nyari radio itu terjadi banyak hal-hal kocak. Coba aja agan liat sendiri di link ini http://bit.ly/2k8BcYw Ane kasih gambar2 komiknya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H