Lihat ke Halaman Asli

Dangdut dan Huntington

Diperbarui: 20 Juni 2015   04:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"...mati aku ayahku tahu...aku sedang berjalan dengan pacarku..."

Anda tahu lirik lagu di atas? Jika ya, berarti Anda kemungkinan tergolong pecinta musik dangdut di tanah air. Saya sendiri baru mendengar lagu dan lirik tersebut ketika menghadiri acara khitanan teman anak saya siang hari itu, beberapa minggu lalu. Di perhelatan cukup mewah tersebut, pengisi acara yang disewa oleh tuan rumah mempersembahkan serangkaian lagu-lagu berirama dangdut. Bersama band pengiringnya, sang pembawa acara merangkap penyanyi tersebut getol mengajak hadirin untuk berdendang dan berjoget bersama. Dan..., meriahlah suasana...

Tapi, bukan karena musik dangdut saya terdorong untuk menulis catatan kecil ini. Melainkan, lagu yang saya kutipkan sebagian liriknya di awal tulisan ini lah yang membuat saya ingin corat-coret berbagi sedikit catatan hasil "lamunan" singkat saya yang secara spontan muncul gara-gara mendengar lagu tersebut.

Lagu itu, yang saya tak tahu judulnya, merupakan lagu yang menurut saya unik. Diawali dengan ketukan, irama dan nada dangdut yang sangat kental, bagian solo musik-nya yang berada di tengah-tengah lagu "tiba-tiba" beralih haluan menjadi musik heavy metal. Cabikan gitar listrik yang meraung cepat terdengar mengambil alih "panggung" musikalitas si lagu dan membuat lagu menjadi asli lagu metal! Belum jenak saya "menikmati" berubahnya musik dan lagu dari dangdut menjadi metal, lagu kembali beralih menjadi musik dangdut. Dan tak lama kemudian, sebelum saya sempat sepenuhnya mencerna perubahan yang terjadi, irama lagu berganti lagi menjadi musik rap. Dan lalu dangdut lagi... Busyet!!! Baru kali ini saya mendengar lagu yang campur baur ala gado-gado kayak gini. Itu si pengarang kira-kira lagi apa ya ketika nyipta'in lagu ini? Mabuk kali ye...? Bener-bener ndak sopan dan tidak tahu kaidah bermusik. Dasar komposer semprul... Begitulah spontan pikiran dan cacimaki saya.

Namun, sejurus kemudian, saya sadar bahwa meskipun lagu tersebut sepintas jadi terdengar amburadul dan tak karuan, lagu itu tetap bisa dinikmati. Di tengah katidakteraturan tersebut, lagu itu tetap sukses menjadi sebuah lagu dengan segala gaya dan orisinalitas-nya sendiri. Meskipun dengan sedikit mengomel dan gerundelan, toh saya juga bisa ikut menikmati lagu dan musik yang aneh (atau unik?) itu... Dan pada akhirnya, apakah memang musik dan lagu perlu dibeda-bedakan 'genre'nya? Kalo ya, apakah memang lagu atau musik "lintas-genre" merupakan hal yang terlarang? Emang siapakah yang berhak menentukan ini boleh dan itu tak boleh? Ini baik dan itu tak baik?

Akhirnya, saya jadi berpikir, mungkin kotak-kotak atau sekat-sekat itumemang tidak perlu ada. Baik itu sekat-sekat dalam bermusik dan berseni (dalam wujud berbagai 'genre' yang berbeda), maupun kotak-kotak pembatas dan sekat-sekat lain dalam kehidupan yang lebih luas. Misalnya kotak dan sekat agama, suku, etnis, maupun kelas sosial. Mungkin, pada akhirnya alur hidup manusia dan semua yang ada di dalam kehidupan mengalir menuju satu kesatuan yang bersifat universal dan harmonis. Mungkin fitrah kita dan esensi kehidupan adalah (menemukan) sebuah dunia di mana sekat dan kotak pembatas menjadi kadaluarsa dan tak berlaku. Sebuah era di mana perbedaan masih ada namun menjadi tak bermakna. Karena yang terpenting adalah bersama, bekerja sama, harmoni dan saling melengkapi. Seperti lagu dangdut tadi.

Dan karena itu, teori atau konsep yang mengadvokasikan sebaliknya niscaya akan berakhir sebagai konsep yang tak nyata, tak terbukti, cenderung hanya menjadi propaganda negatif yang provokatif, tak relevan, obsolete, dan pada akhirnya akan berangsur hilang atau “kalah”, persis seperti halnya ilusi Samuel Huntington tentang “clash of civilization”nya, ataupun "turunan-turunan" Huntington lainnya, seperti fundamentalisme, fasisme, rasisme, anti-semitisme dan semacamnya. Alih-alih peradaban yang berbeda-beda di dunia saling bertabrakan dan menghancurkan, kita saat ini malah sedang berada di tengah arus kuat globalisasi yang semakin deras disertai dengan bangkitnya kesadaran akan pentingnya komunitas internasional, di mana masyarakat yang berbeda-beda asal-usul dan budaya bertemu, ingin bertemu, butuh bertemu, dan berjalinkelindan (co-exist) bersama secara damai dan saling menghormati di dalam kehidupan.

Yah..., setidaknya, begitulah menurut pemikiran dan pandangan saya. Bagaimana menurut Anda?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline