Lihat ke Halaman Asli

Pak Bisa Nggak Jakarta Gak Macet dan Banjir Lagi Kayak Gini?

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Hujan sore ini amat deras di tambah lagi petir dan halilintar yang setia menemani seperti satu grup musik yang sedang memainkan tembang di kala senja,aku masih di lantai atas sebuah gedung perkantoran di pinggiran jakarta sambil menatap lurus ke depan melihat seberapa kuat hujan menghantam dingding gedung pencakar langit.
Sesekali pandanganku melihat ke bawah ke jalanan di depan gedung tempatku bekerja,nampak di bawah sana deretan mobil dan motor yang berebut mencari celah untuk saling mendahului,bunyi klakson dari satu mobil ke mobil yang lain seakan tak pernah berhenti,bunyinya lumayan terdengar jelas di telingaku seolah ingin menyaingi suara hujan dan petir.
Jalanan yang sejatinya terbebas dari genangan air malah benar-benar seperti aliran sungai dan mobil-mobil adalah perahunya.
Sampah,ya sampah bebas berenang di jalanan dan tersangkut di mobil sekelas bmw dan alphard.

Makin lama makin deras saja hujan ini tak seperti biasanya yang hanya numpang lewat sebentar lalu pergi meninggalkan jejak pada gedung dan jalanan.entah tuhan sengaja membuat hujan ini semakin deras dan lama agar jakarta lebih adem dan sejuk tidak lagi panas dan beringas.
Emak,aku khawatir pada emak yang tinggal di rumah sendirian di pemukiman padat di pingiran jakarta kalau hujan makin deras tempat emak dan aku tinggal sering kena banjir kalau hujannya deras dan tidak berhenti-henti apalagi kalau air kali dekat rumah meluap pastilah rumah emak hanya kelihatan atapnya saja.
Emak,aku harus pulang sekarang juga tak peduli senja kian larut dan jalanan macet dan tergenang air.aku harus pulang bantu emak yang mungkin sedang minta tolong rumahnya kebanjiran.
Kemoceng dan kain lap yang sedari menemaniku ku taruh di lemari kerjaku di ruangan kecil bersama alat-alat kerjaku seperti ember dan sapu,aku melapor dulu ke atasanku guna minta ijin untuk pulang ke rumah,untung saja atasanku baik hati kepadaku walaupun aku hanya seorang office boy namun beliau tidak pernah memandang remeh kedudukan seseorang dan menghargai satu sama lain.

Laju sepeda motor tahun lawas yang ku pacu seolah ku paksa berlari melibas jalanan yang tergenang air dan macet,mencari cari celah di antara mercy dan bmw yang terpaksa ikut dalam barisan kemacetan.
Dalam pikiranku sekarang adalah emak yang sedang kebanjiran,emak seorang diri di rumah kecil yang tak bertingkat yang setiap hujan deras dan sungai penuh sampah meluap menjadi langganan kebanjiran.
Dulu aku tidak terlalu khawtir akan emak karena di rumah emak di temani bapak dan kakak laki-laki ku tapi semenjak mereka tidak ada aku selalu cemas akan keadaan emak kalau situasi seperti sekarang ini.

Laju kuda besi yang kutunggangi semakin beringas meliuk-liuk mencari celah,sampai di suatu tempat di depan gedung pusat perbelanjaan jalanananya tergenang air setinggi perut orang dewasa,banyak kendaraan yang memutar balik karena takut mesin motornya mati dan terjebak di tengah-tengah genangan air,sial bagiku yang buru-buru sampai ke rumah emak harus nemuin yang seperti ini.

Sejenak aku menghela napas dan melihat sekelilingku,banyak poster dan baligho memajang calon gubernur dan wakil gubernur jakarta terpangpang di sepanjang pinggr jalan.
Aku ngedumel sendiri sambil ngomong di depan photo-photo gede ke enam calon gubernur
PAK BISA NGGAK JAKARTA GAK LAGI MACET DAN BANJIR LAGI KAYAK GINI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline