Tradisi Kawin Mawin Suku Sumba Masa Kini: Belis atau Beli?
Sumba merupakan salah satu pulau di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang terbagi menjadi empat kabupaten: Sumba Barat, Sumba Barat Daya, Sumba Tengah, dan Sumba Timur. Meski demikian, masyarakat Sumba memiliki beragam tradisi yang secara turun-temurun telah diwariskan kepada generasi penerusnya. Tradisi-tradisi inilah yang menjadi magnet tersendiri bagi Sumba sehingga mampu mengundang turis baik lokal maupun manca negara untuk datang berkunjung ke Sumba. Dari sekian banyak tradisi masyarat Sumba, ada satu tradisi yang menarik bagiku untuk didiskusikan. Tradisi "Belis" namanya.
Belis merupakan tradisi penyerahan mas kawin oleh pihak pria kepada pihak wanita dalam pernikahan masyarakat Sumba. Penyerahan mas kawin tersebut dapat berupa hewan ternak seperti kuda, kerbau, babi. Selain itu, penyerahan belis juga dapat berupa mamuli(Sebuah simbol reproduksi wanita dalam identitas kebudayaan lokal), hingga Kain Sumba.
Banyaknya belis tergantung pada kesepakatan dan status sosial daripada calon pengantin perempuan. Jika yang akan dinikahi adalah wanita dengan status sosial tinggi, maka hewan yang diberikan mencapai Puluhan ekor. Untuk rakyat biasa sekitar 5-15 ekor. Dan untuk ata (golongan/lapisan terendah dalam stratifikasi masyarakat Sumba), dibayar oleh maramba (tuan/bangsawan).
Mahalnya belis yang harus dikeluarkan oleh pihak mempelai pria tak menjadi persoalan sebab ada makna mulia yang tertanam dalam peristiwa belis ini, yaitu nilai yang menjunjung betapa berharganya seorang wanita. Namun, seiring berjalannya waktu, belis mengalami pergeseran makna karena nilainya semakin tinggi dan irrasional.
Hal ini juga menyebabkan kemiskinan yang struktural bagi sang mempelai (tidak termasuk keluarga mempelai wanita) karena belis dipolitisasi semata untuk memperkaya diri. Bahkan yang lebih parahnya lagi, kini dibuatkan stratifikasi pendidikan. Semakin tinggi pendidikan seorang wanita, maka semakin besar pula belis yang harus ditanggung oleh mempelai pria. Sungguh stratifikasi yang sangat merugikan.
Jika demikian, maka dapat dibayangkan betapa mahalnya belis seorang wanita lulusan sarjana, bukan? Lantas, bagaimana jika sang mempelai wanita hanya lulusan SD? Apakah biaya belisnya lebih murah? Ya, pastinya besaran belis akan lebih sedikit daripada wanita lulusan sarjana tersebut. Lalu, makna apa yang didapatkan? Tidak ada.
Sebab makna daripada budaya tersebut telah menjadi rusak karena disusupi kepentingan ekonomi dan prestise. Adat sudah bersolek menjadi "komoditi" ekonomi yangmana aturan-aturan adat sudah mengalami degradasi makna dan simbol karena lebih mementingkan mahar berwujud yang harus menjadi cash & carry. Semuanya penuh dengan unsur kepentingan.
Adat yang seharusnya mempererat kekerabatan karena disatukan dalam pernikahan, malah merenggangkan jika negosiasi dari pihak mempelai pria untuk menurunkan harga belis gagal dilakukan.
Secara pribadi, saya memang tidak menolak belis, apalagi belis merupakan salah satu budaya/tradisi masyarakat Sumba yang secara turun-temurun telah diwariskan. Hanya saja, nilai belis yang secara turun-temurun itu telah mengalami degradasi atau penurunan.
Belis bukan lagi sebagai penghargaan kepada perempuan, ataupun sebagai bentuk terimakasih kepada orang tua karena telah membesarkan anak perempuannya. Tetapi belis masa kini adalah sejenis bisnis keluarga, dimana terjadinya tawar menawar jumlah belis berdasarkan status sosial dan tingkat pendidikan perempuan.