Di surat kabar, saya membaca pengakuan seorang pencuri kendaraan bermotor. Ketika ditanya dari mana inspirasi didapatkan karena modus pencurian tergolong rapi, jawabnya lugu “Saya menonton di berita televisi”. Pengakuan pembunuh dengan cara memutilasi (memotong bagian tubuh) juga sama, ketika ditanya dari mana ide muncul dijawab “Dari menontol televisi”. Saya kira, ini hanya sebagian kecil saja bagaimana tayangan televisi punya efek buruk. Sebuah tayangan yang mungkin luput dari pikiran produsen berita (televisi) tapi memapar khalayak mendapatkan inspirasi beragam modus kejahatan.
Di televisi, kita juga masih bisa saksikan. Iklan partai politik berupa Mars partai yang melolong setiap saat tanpa kita kehendaki, tayangan hiburan yang tidak lucu, bahkan cenderung hanya mengolok-olok fisik seseorang masih marak. Sinetron-sinetron Jakarta sentris yang masih mendominasi dan bertolak belakang dengan kehidupan masyarakat, terutama di daerah-daerah. Belum lagi, sebuah stasiun televisi yang menjadi corong tokoh partai tertentu.
Melihat fenomena demikian, apakah kita sudah merdeka di dunia penyiaran? Saya kira belum. Kita masih terus terpapar tayangan buruk dan tidak bermutu di televisi. Kita belum terbebas dari penjajahan media, khususnya televisi yang setiap saat merongrong kita, baik disadari maupun tidak oleh masyarakat kita yang hampir setiap rumah punya televisi di ruang tamunya.
Itu sebabnya, kita perlu terus menyalakan akal sehat dan sikap kritis kita untuk menolak tayangan buruk televisi itu. Langkahnya, kita pro aktif melakukan penolakan. Baik melalui petisi online, surat pembaca, maupun saluran pengaduan, salah satunya melalui situs KPI.go.id. Itulah bentuk perjuangan kita dalam dunia penyiaran. Dan rasanya perjuangan ini masih panjang. Memang, saat ini sudah ada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang salah satunya bertugas mengawasi isi siaran.
Tapi, saya kira tugasnya tetap perlu di dukung oleh komunitas-komunitas literasi media di tanah air. Entah dari kampus-kampus maupun inisiatif masyarakat. Sinergi KPI dan komunitas literasi media saya kira menjadi syarat mutlak untuk melahirkan “Televisi Sehat”. Ruang bermedia yang tak hanya mengeksploitasi apapun demi keuntungan perusahaan (stasiun televisi), tapi juga turut andil memajukan khalayak lewat informasi yang bermutu dan hiburan yang mendidik agar kehidupan masyarakat lebih baik. Bukan sebaliknya (Yons Achmad/Pengamat media/Founder Kanetindonesia.com/ WA:082123147969).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H