Lihat ke Halaman Asli

Yons Achmad

Pengamat Komunikasi

Semiotika Sandal Jepit

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13257742252073346982

Sandal jepit. Apa yang menarik dari sebuah sandal jepit? Tidak ada, selain berguna sebagai alas kaki saja. Tapi, di awal tahun 2012, sandal jepit tiba-tiba menjadi tema berita yang cukup populer. Sebuah media terbesar di tanah air, Kompas, 4 Januari 2012, memasang foto besar dihalaman utamanya. Sebuah foto sandal jepit dijejer pada sebuah meja yang siap dikirimkan ke markas kepolisian RI. Foto tersebut adalah aksi 1000 sandal sebagai bentuk protes terhadap kriminaliasi yang dilakukan polisi terhadap bocah yang dituduh mencuri sandal milik anggota Brimob Polda Palu, Sulawesi Tengah. Pengadilan akhirnya memutuskan mengembalikan bocah tersebut kepada orang tuanya. Membaca foto berita tersebut yang sampai dimuat pada koran terbesar nasional, sebenarnya ini petanda apa? Saya tidak akan membahas segi hukum kasus anak tersebut. Tapi, saya tertarik untuk menafsirkan gerakan 1000 sandal jepit yang mendapat dukungan besar dari masyarakat. Dan kemudian, sebuah koran terbesar sekelas Kompas memuatnya pada halaman utama. Terkait dengan kasus ini, saya akan mencoba menafsirkannya dalam sudut pandang semiotika (ilmu tanda). Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti Tanda. Selanjutnya, karena banyak definisi yang dikenal dalam kajian media, saya akan mengajukan satu definisi yang agak sesuai digunakan dalam membedah kasus ini. Saya merujuk pengertian yang diajukan pakar semiotika Van Zoest yang mengartikan semiotika sebagai ilmu tanda dan segala yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, pengirimnya, penerimanya dan mereka yang mempergunakannya. Dalam kasus tersebut, yang pertama membuat gerakan adalah orang Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). KPAI tidak sepakat kalau remaja ditempatkan ke dalam penjara. Hasilnya, memang kemudian anak tersebut dikembalikan kepada orang tuanya. Tetapi, saya kira agenda KPAI lebih besar dari sekedar berusaha agar anak itu tidak dipenjara. Aksi 1000 sandal untuk kapolri sebenarnya bentuk protes secara keseluruhan atas institusi kepolisian yang sampai saat ini tidak memberikan rasa keadilan. Termasuk, memberikan rasa aman kepada masyarakat. Justru, kehadiran pihak kepolisian menjadi momok sendiri bagi masyarakat. Ini dari sudut pandang pengirim pesan. Lantas, bagaimana dengan sandal jepit itu sendiri? John Fiske (1990) dalam Introduction to Communication Studies mengatakan, for signs are human constructs and can only be understood is term of uses people put them to (tanda adalah buatan manusia dan hanya dimengerti oleh orang-orang yang menggunakannya). Saya kira, dalam konteks sandal jepit ini, tidak benar-benar dipergunakan sebagai tanda. Tetapi hanya secara kebetulan yang diduga dicuri itu sebuah sepasang sandal. Dan dengan spontan, ada yang mengkoordinir, masyarakat luar berpartisipasi dan menjadi simbol protes kepada Kapolri. Jadilah gerakan aksi 1000 sandal untuk Kapolri. Aksi 1000 sandal jepit itu kini telah usai. Dan saya kira, televisi, koran maupun media-media lain akan segera mengakhiri pemberitaan tersebut dengan berita-berita lain yang lebih menarik. Dalam kasus ini, protes terhadap institusi telah dilayangkan, masyarakat mendukung akasi protes tersebut. Bayangkan, ada nenek-nenek yang mungkin begitu muaknya dengan polisi sampai menyewa angkot untuk menyumbang sandal jepit untuk Kapolri. Kita tentu bisa membacanya sebagai tindakan heroik dari masyarakat akar rumput. Kini, yang tersisa hanyalah dari pihak institusi kepolisan sendiri. Saya kira aksi 1000 sandal jepit itu memang tergolong masih santun tapi sebenarnya amarah besar ada dan tersimpan dalam aksi itu. 1000 sandal jepit bisa kita tafsirkan sebagai simbol ”sangat banyak”, artinya apa? Wahai para anggota polisi, banyak yang muak dengan Anda. Rakyat banyak sudah tidak percaya lagi dengan institusi bernama kepolisian. Aksi ini sekaligus memberikan pesan bahwa masyarakat sebenarnya masih memberikan kesempatan institusi kepolisian untuk bisa berubah, bisa mengayomi masyarakat, bisa memberikan rasa aman, bukan justru bersikap arogan hanya karena diberi pegangan senjata. Ingat, didaerah sampai ada anggota polisi yang dihajar, ditusuk, bahkan pos-pos polisi dibakar. Apakah institusi kepolisian tidak bisa membaca tanda-tanda kemarahan masyarakat ini? Kini, aksi 1000 sandal jepit itu telah menjadi sejarah protes masyarakat. Aksi protes spontan masyarakat sipil terhadap aparat. Yang ada tinggal apakah institusi kepolisian mau instropeksi, mengevaluasi atas kinerja dan perilaku anggotanya yang arogan dan sok jagoan. Atau, malah sibuk berbohong memutarbalikkan fakta, sibuk membela diri. Kalau yang terakhir yang dipilih, yakinlah bahwa perlawanan masyarakat pada institusi kepolisian akan semakin besar.(Yons Achmad.Pengamat media, tinggal di Jakarta)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline