Lihat ke Halaman Asli

Yons Achmad

Pengamat Komunikasi

Perlawanan Terhadap Jokowitainment

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Sumber Foto: Kompasiana

Apakah Jokowi melakukan politik citra? Dia mengaku tidak. Pengakuan itu saya dengar sendiri saat dia memberikan kuliah umum “Reformasi Birokrasi” di Universitas Paramadina, Jakarta. “Politik citra apanya, saya televisi ndak punya, Koran juga nggak punya, itu kerjaan wartawan saja” Begitu kira-kira bahasa penolakan dia. Tapi masalahnya, apakah publik percaya pengakuannya? Masing-masing tentu punya persepsi tersendiri. Yang muncul di berbagai media sekarang, fenomena Jokowitainment begitu mewarnai tayangan pemberitaan. Lantas, masalahnya apa?

Saya kira, besar atau kecil, setiap politikus atau pejabat publik pasti melakukannya.Ya, saya kira pasti politik citra itu dimainkan. Omong kosong kalau tidak melakukannya. Yang menjadi masalah, menurut saya adalah, dramatisasi yang terlampau berlebihan, ekspose yang hanya menampilkan sisi remeh-temeh, sisi emosional (personal), bukan ekspose atas capaian, atau semacam prestasi kerja sebagai pemimpin. Hanya saja, logika publik kadang memang berseberangan dengan logika media.

Industri media punya logikanya sendiri untuk memberitakan sesuatu. Seperti pengakuan Pemimpin Redaksi Detik Com, Arifin Asydhad dalam sebuah diskusi “Islam dan Media Berita” di Jakarta beberapa waktu lalu. Katanya “Kita memang selalu beritakan Jokowi, karena dia sosok yang jujur, pekerja keras dan merakyat, dia sangat beraklak muslim, jadi kami dukung”. Begitu kata insan pers yang juga alumni pesantren Al-Mukmin Ngruki Solo itu.

Nah, menyikapi fenomena Jokowitainment ini, biarkan media berkreasi lewat jalannya sendiri. Tapi, publik juga punya kuasa. Kita, sebagai publik yang kritis, tentu perlu menolak banjirnya informasi serta narasi-narasi kepemimpinan yang dangkal, tidak penting serta tidak menukik pada akar persoalan. Kita, perlu menolak apa yang disebut akademisi Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI), Effendi Gazali dengan sebutan communication without substance (banjir informasi/komunikasi yang dangkal, tanpa isi, tanpa arti).

Kita, sebagai publik, punya tanggungjawab penting untuk mengembalikan narasi-narasi tentang Jokowi berbasis prestasi kerja, bukan berita-berita sentimentil, remeh temeh, walaupun memang sendikit menghibur. Kita harus kembalikan narasi tentang bagaimana Jokowi mengatasi problem substansial Jakarta, seperti kemacetan, banjir, pemukiman kumuh, isu pro kesehatan publik, juga tentu saja cita-cita kemakmuran. Isu-isu demikian yangsejatinya perlu dikawal.

Masalahnya sekarang, boleh dibilang hampir semua media mainstream (arus utama) memperlakukan Jokowi semacam itu, menjadikannya sajian Jokowitainment. Tentu saja, yang demikian saya kira sebuah “dosa” media yang agak kelewatan. Penolakan serta perlawanan narasi dan wacana media demikian harus terus dinyalakan. Bagaimana caranya? Salah satunya dengan media alternatif, bentuk nyatanya lewat “New Media” atau jejaring media sosial yang setiap kita, masyarakat digital, memilikinya (Twitter, blog, facebook, web interaktif dll). Itu adalah tool-tool yang bisa kita gunakan sebagai alat perlawanan.

Agar agenda perlawanan terhadap fenomena Jokowitainment ini lebih tepat sasaran, kita memerlukan filsafat media, atau konsep pendukung sebagai landasan gerak praksisnya.Ide dasarnya, ketika tokoh melakukan komunikasi politik, bentuk nyatanya adalah (misalnya) pencitraan, maka perlawanan yang mesti dilakukansalah satunya adalah dengan politik komunikasi, membalik logika dan banjir informasi. D.C Mutz (2001), dalam “The Future of Political Communication” mengartikan politik komunikasi sebagai upaya menjadikan warga Negara sebagai pengelola informasi yang aktif dan mandiri.

Gagasan “Public Sphere” dari Habermas barangkali juga relevan kita pinjam untuk mendukung gerakan perlawanan (politik informasi) terhadap fenomena jokowitainment ini. Gagasan ini bisa kita temukan lewat beberapa buku karangannya, diantaranya “The Structural Transformation of Public Spere” (1993) juga “Moral Consciousness and Communicative Action” (1996). Tentu saja, istilah politik komunikasi sendiri, sejalan dengan gagasan “Ruang Publik” dari Habermas ini.

Habermas, lewat bukunya, memimpikan sebuah “Public Sphere” yaitu ruang publik yang lepas dari tekanan kekuatan dominan, terutama dari tekanan istana (pemerintah) dan pasar (kapital), sehingga dapat terjadi sebuah interaksikomunikasi yang bebas dan (relatif) rasional.Gagasan demikian, akan terwujud jika ada syarat diantaranya “variety of media” (terdapat variasi jenis media), “Diversity in media ownership” (keterbukaan dan keberagaman kepemilikan media) serta “Plurality of contents” (kandungan atau isi berita yang beraneka ragam pula). Nah, bagaimana fenomena Jokowitainment dikaitkan dengan beberapa gagasan di atas.

Kini. Entah Jokowi atau tim/relawan suksesnya sengaja melakukan politik citra atau tidak, “faktanya” media khususnya media mainstream (arus utama) telah menyuguhkan wajah Jokowitainment yang dangkal dan remeh temeh itu. Media arus utama, ketika memainkan peran demikian, sejatinya telah gagal melakukan fungsi utamanya, kontrol terhadap performa kepemimpinan dan gagal melakukan advokasi media untuk urusan-urusan publik yang masih belum terselesaikan. Media hanyut dan larut dalam dramatisasi sepak terjang Jokowi yang sebatas kulit, bukan isi. Yang tentu saja, tujuannya sebatas kapital, trafik atau rating. Yang demikian, sangat berlawanan dengan cita-cita publik. Nah, melalui media alternatif didukung sosial media, kita perlu membangun ruang yang lebih rasional terhadap Jokowi, seperti ide Habermas.

Semua ini perlu dilakukan, untuk sebuah tatatan dan kepemimpinan yang lebih baik. Kita perlu narasi-narasi media yang berisi dan punya arti, bukan narasi-narasi yang dangkal, remeh temeh, yang hanya membawa efek dramatisasi. Yang hanya menguntungkan media semata tapi sesungguhnya abai terhadap kepentingan publik. Jadi, perlawanan terhadap fenomena Jokowitainment, perlu terus dinyalakan. Bukan dalam rangka menciptakan sebuah serangan, tapi membalik keadaan agar tercipta tatanan yang lebih baik sesuai yang publik cita-citakan. Demikian. (Yons Achmad/pemerhati media, tinggal di Jakarta).




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline