Lihat ke Halaman Asli

Yons Achmad

Pengamat Komunikasi

Dosa Sarjana Ilmu Komunikasi (Media)

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Saya setuju dengan guru yang mengatakan bahwa filsafat adalah sebuah kegiatan reflektif. Sebuah usaha untuk menemukan kebenaran mendasar. Menukik pada persoalan inti atau makna. Dengan demikian, filsafat sosial media adalah sebuah upaya pencarian menuju penjelasan tersebut. Jelas, dalam kesempatan ini, hanya sekedar perenungan sederhana saja sebagai orang awam.

Saya kira, yang paling paham persoalan sosial media mestinya para sarjanaIlmu Komunikasi. Yang, tentu saja punya otoritas ilmiah sebab punya basis pengetahuan di kampus. Sayang, para sarjana Ilmu Komunikasi sering absen memberikan penjelasan-penjelasan tentang perkembangan kontemporer problem (sosial) media. Hasilnya,fenomena sosial media berjalan secara “liar” tanpa ada yang mencoba sedikit bersusah payah untuk menafsir keberadaannya.

Saya akan coba sedikit “memberikan makna”, sependek pengetahuan. Coba kita pinjam konsep “Selalu Terhubung” (AlwaysOn) dariSherry Turkle, seorang penulis buku “Alone Together” (2011).Nah, konsep ini bisa kita gunakan untuk membaca fenomena sosial media sekarang ini. Taruh saja untuk membedah fenomena aktivitas manusia dalam dunia facebook atau twitter. Maaf, untuk instagram, Path atau lainnya saya tak pakai. Jadi cukuplah pada kesempatan senja ini kita singgung soal sosial media (Facebook/Twitter).

Kita gunakan kedua sosial media tersebut. Mulai dari urusan pekerjaan, jual beli online, persoalan percintaan, alat marketing prostitusi, personal branding, atau alat efektif bagi mereka yang diam-diam mencandui perselingkuhan.Nah, kita bias bertanya kepada diri kita masing-masing. Sejenakmerenung, sebenarnya bagaimana kita memakai “barang” itu. Tentu jawabnya tergantung pribadi masing-masing.

Pemandangan umum, sosial media menjadi tempat berbagi informasi, berbagi perasaan, menggalang massa. Juga, bisa digunakan untuk meluapkan kekecewaan kepada pemerintah, seperti untuk menulis status “Jokowi Brengsek” atau hal-hal lainnya.Kasus terakhir, seorang pemakai sosial media harus berurusan dengan polisi karena dituduh menghina orang Jogja. Untuk kasus terakhir ini, saya setuju dengan komentar Ruby Alamsyah, pakar digital forensik dalam obrolan di Metro TV bahwasemangat UU ITE adalah untuk “menjerat” pelaku kejahatan dalam dunia perbankan dan telekomunikasi, bukan untuk mengurusi hal remeh temeh soal pencemaran nama baik.

Begitulah. Pada akhirnya, ketika merenungkan soal sosial media, kita akan kembalikan pada pribadi masing-masing. Semuanya tergantung cara pandang menyikapi informasi, tata nilai, etika dan persoalan moral. Tataran ideal, bagaimana seharusnya memandang serta menggunakan sosial media, semua tergantung pada kapasitas orang tersebut.

Itu sebabnya, dibutukan apa yang dinamakan dengan aktivitas literasi (sosial) media. Sebuah usaha bagaimana tak hanya sekedar bias menggunakan sosial media, tetapi juga bias bersikap kritis terhadapnya. Lagi-lagi, ini“tugas” para sarjana Ilmu Komunikasi. Lagi-lagi pula, sayangnya banyak lulusan Ilmu Komunikasi begitu sibuk hanya sekedar menjadi “Buruh” media, tapi lupa terhadap tugas mulia, menyoal urusan pantau media dan juga urusan literasi (sosial) media. Inilah salah satu “dosa” para sarjana Ilmu Komunikasi. (Yons Achmad. Pemerhati media, tinggal di Jakarta).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline