Lihat ke Halaman Asli

Strategi RS Hadapi BPJS

Diperbarui: 4 April 2017   16:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Setelah masa kemerdekaan Bangsa Indonesia salah satu manfaat yang paling dirasakan oleh rakyat Indonesia mungkin adalah salah satunya adanya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Kehadiran BPJS tentunya merupakan sebuah produk pemerintah  yang dirasakan oleh masyarakat khususnya mereka yang tidak mampu, dengan adanya BPJS masyarakat tidak tidak perlu lagi khawatir soal pembiayaan rumah sakit.

Dana BPJS adalah uang rakyat yang dikelolah dengan system gotong royong oleh pemerintah dalam hal ini BPJS, dimana masyarakat mampu membantu masyarakat yang tidak mampu. Pada awalnya hadir dengan segara pro dan kontra keberadaan BPJS bahkan sampai fatwa ulama turun, pemerintah tidak bergeming program ini terus berjalan. Dan harus di akui, sampai hasil survey mengatakan bahwa BPJS adalah manfaat yang paling dirasakan dan disukai oleh masyarakat dengan persentasi tertinggi. Jumlah kepesertaan sampai dengan 30  Oktober 2015 sebanyak 153.721.329 (sumber : http://bpjs-kesehatan.go.id).

Jika berbicara peserta tentunya berbicara juga Fasilitas Kesehatan (Faskes) adalah fasilitas kesehatan yang melayani peserta BPJS mulai dari Puskesmas, dokter praktek, klinik, rumah sakit, apotek, dan optic. Harapan pemerintah dan para peserta BPJS adalah faskes bisa melayani dengan baik dan tentunya memiliki kinerja keuangan juga harus baik. Masih ingat di awal-awal ada kebijakan BPJS beberapa rumah sakit lainnya menolak kebijakan BPJS karena dinilai rendahnya iuran yang dibayarkan tidak sesuai terlebih mereka adalah rumah sakit swasta yang biaya operasionalnya harus ditanggung sendiri.

Rumah Sakit Wajib Melayani Peserta BPJS

Pernah dengan tegas Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa untuk RS Swasta yang tidak mau bekerjasama atau melayani Pasien BPJS akan dikenakan sanksi, seperti pencabutan ijin operasional. Ini sesuai dengan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengamanatkan RS tidak boleh menolak pasien yang membutuhkan pelayanan gawat darurat. “Kalau RS menolak maka terancam sanksi pidana. Pasal 32 ayat (2) mengatur bahwa  dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka. Jika larangan ini dilanggar, maka berdasarkan Pasal 190, Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp200 juta. Ancaman pidana lebih berat jika akibat penolakan itu, pasien mengalami kecacatan atau kematian, yakni pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.

BEROBAT GRATIS PELAYANAN PRIMA

Teori Biaya mahal pelayanan prima rupanya harus di teliti kembali jika kita berbicara era BPJS, bagaimana tidak hak-hak pasien adalah sama, baik BPJS maupun biaya mandiri. Pasien BPJS tidak bisa dinomor dua atau tigakan, rumah sakit saat ini tentu saja harus memiliki paradigma berbeda dan harus berubah, karena apa, kalaupun mereka pasien BPJS mereka memiliki hak untuk melaporkan kepada BPJS terkait dengan pelayanan rumah sakit terlebih kecurangan rumah sakit. Saat rumah sakit memutuskan kerjasama dengan BPJS harus sadar sepenuhnya kebijakan BPJS akan menjadi bagian dari kebiajakan rumah sakit. Rumah sakit adalah pelayanan kesehatan rujukan setelah puskesmas atau dokter praktek, dengan demikian saat pasien mengetahui pelayanan yang tidak baik maka mereka bisa memutuskan untuk dirujuk ke rumah sakit yang menurut mereka lebih baik.

Hal lain yang perlu di pertimbangkan adalah, semakin terus bergesernya tingkat pasien jaminan pribadi ke BPJS secara signifikan merupakan fakta yang harus dihadapi, pasien BPJS tidak bisa dipandang sebelah mata, persentasi kunjungan pasien terhadap rumah sakit berubah menjadi 70% BPJS dan 30% adalah pasien umum atau jaminan pribadi selama periode 1 tahun. Data ini sesuai dengan data yang dimiliki oleh penulis dari salah satu rumah sakit di daerah Brebes (Dera As-Syifa Banjarharjo).

Dengan tingginya angka ketidakpuasan pelayanan peserta BPJS terhadap rumah sakit ini kemudian di akomodir oleh BPJS dengan kebijakan dan peraturan yang terus disempurnakan. Walaupun terkesan dilapangan berubah-ubah, sehingga pada akhirnya BPJS memutuskan bahwa klinik dan rumah sakit harus memenuhi standar pelayanan yang baik dan memiliki indicator yang jelas. Apa acuan dan harapan BPJS terhadap Rumah sakit ? Rumah Sakit Harus Di Akreditasi oleh KARS versi 2012 bahkan menurut kabar akan hadir Akreditasi KARS-2015 melihat kondisi ini sepertinya BPJS tidak main-main dalam menseleksi rumah sakit yang hendak bekerjasama dengan BPJS.

STRATEGI RUMAH SAKIT DI ERA BPJS

Dalam menghadapi era BPJS tidaklah mudah, terlebih untuk rumah sakit, perlu Pemikiran, strategi, pengertian, kesepahaman dan kesepakatan bersama diseluruh internal rumah sakit, baik itu Dokter, Staf Perawat, Staf umum dan Manajemen. Jika tidak cermat dan hati-hati cerita tentang lonjakan pasien rumah sakit namun malah merugi akan menjadi rangkaian cerita ironi. Dari itulah perlu langkah-langkah strategic dan taktik yang baik dalam melaksanakan kebijakan JKN.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline