Lihat ke Halaman Asli

Yonni Prianto

Perawat Jiwa

Menjaga Lansia Tetap Sehat Jiwa Ketika Bencana Melanda

Diperbarui: 1 Januari 2021   19:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Oleh :Ns. Yonni Prianto, M.Kep, Sp.Kep.J

Perawat Kesehatan Jiwa

Istilah “Bencana” sudah begitu sering muncul dalam media, dimana seolah-olah datang silih berganti dalam keseharian masyarakat. Menurut UU no.24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, bencana didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor  manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,  kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Peristiwa bencana umumnya menggambarkan kondisi dimana masyarakat memerlukan bantuan dari pihak luar karena sumber daya yang dimiliki terbatas, terutama ketika mereka mengalami kehilangan dan kerusakan. Bencana alam menjadi salah satu bencana yang paling sering terjadi. Bencana alam disepanjang tahun 2020 disertai dengan bencana non alam berupa pandemik Covid-19 yang tentunya menambah upaya dalam menghadapinya.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat angka 1944 total bencana alam terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 1 Januari hingga 3 September 2020.  Sebanyak 272 jiwa meninggal dunia, 24 orang hilang, 422 mengalami luka-luka, dan 3.871.567 jiwa mengalami penderitaan dan mengungsi. Bencana alam umumnya juga berdampak pada menurunnya kualitas hidup manusia. Dampak bencana yang berkaitan dengan kualitas hidup bisa dilihat dari beberapa faktor :

  • Perpindahan tempat tinggal ke pengungsian, hunian, sementara ataupun proses relokasi
  • Kehidupan di pengungsian yang tidak kondusif
  • Ketersedian sumber makanan yang tidak mencukupi
  • Sanitasi lingkungan yang buruk
  • Ketersediaan sarana prasarana baik menyangkut kebutuhan fisik maupun mental spiritual
  • Kurangnya layanan kesehatan fisik dan dukungan psikososial

Selain dampak diatas, masyarakat terutama kelompok rentan seperti anak-anak, ibu, hamil, penyandang disabilitas, orang dengan gangguan mental, serta lansia juga mengalami dampak psikologis yang bersifat jangka panjang dan berisiko terhadap penurunan kesejahteraan hidupnya. Salah satu kelompok masyarakat rentan yang perlu mendapat dukungan adalah lansia, dimana dilihat dari faktor usianya mereka mengalami beberapa penurunan biologis dan psikologis. Lansia juga merupakan salah satu kelompok rentan yang perlu mendapatkan perhatian khusus dalam penanganan dampak psikologis bencana (Laluyan et.al, 2007).

Respon lansia yang tinggal dihunian relokasi ataupun pengungsian juga bisa beragam. Menurut Abhas (2010), masyarakat memiliki pertimbangan ketika direlokasi yaitu umumnya berkaitan dengan alasan sosial kultural. 

Pertimbangan yang sering muncul diantaranya adalah mereka harus memasuki lingkungan baru, baik lingkungan fisik, sosial dan kultural. Ketika sudah menempati hunian relokasi atau pengungsian, perasaan rindu dengan kampung halaman pada umumnya juga mendominasi.  Masyarakat cenderung merindukan situasi dan lingkungan tempat tinggal lamanya. 

Mereka merindukan lingkungan lama, dimana mereka bisa leluasa untuk beraktivitas. Di kawasan terdampak erupsi Merapi misalnya, beternak telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan warga lereng Merapi, sebuah kawasan pedesaan yang menyatu secara sosial budaya. Hal ini sejalan dengan penelitian Donovan (2009), bahwa salah satu faktor yang berpengaruh dalam kehidupan warga di pedesaan adalah ketergantungannya terhadap ternak. 

Ketika mereka berada di pengungsian, aktivitas ini menjadi tidak bisa dilakukan lagi. Kondisi pengungsian cenderung menggambarkan keterbasan masyarakat dalam menjalani kehidupan secara normal sebagaimana sebelum bencana terjadi.

Peristiwa bencana dan proses relokasi ke pengungsian merupakan suatu bagian peristiwa kehidupan yang dapat menimbulkan stres dan mempengaruhi pola kehidupan lansia. Menurut Stuart (2013), stresor dapat berasal dari faktor predisposisi ( faktor resiko dan protektif) serta faktor presipitasi. 

Stresor ini dapat bersifat biologis, psikologis, atau sosial budaya. Xiayoi et.al (2015) mengemukakan perbedaan distres psikologis dan kualitas hidup lansia pada 112 responden lansia yang direlokasi dengan 156 responden lansia yang tidak mengalami relokasi setelah 5 tahun gempa bumi Sichuan 2008. Dalam penelitiannya ditemukan hasil bahwa prevalensi distres psikolgis pada lansia yang direlokasi ternyata lebih tinggi (20,5%) dibandingkan dengan lansia yang  tidak direlokasi (4,8%). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline