Lihat ke Halaman Asli

Yones Budiono

yones budiono

Keluarga dan Filosofi "Wae Teku Tedeng" dari Manggarai-Flores

Diperbarui: 9 Desember 2020   01:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Ilustrasi /Dokpri

Banyak orang mengatakan bahwa air itu sebagai sumber kehidupan. Supaya air tetap tersedia bagi generasi lintas generasi, maka pentingnya menjaga sumber mata air itu sendiri. Sekurang-kurangnya dengan memperhatikan keberlanjutannya, menjaga kebersihan, menanam pohon sekitar dan masih banyak lagi

Sebagai orang Manggarai (Flores), air juga memiliki filosofi tersendiri pada fase hubungan sebuah ‘keluarga’. Ada istilah dalam bahasa Manggarai tentang hubungan melalui filosofi ‘Wae Teku Tedeng’. Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan ‘air yang ditimba untuk selamanya’

Lalu pada saat apakah istilah ‘Wae Teku Tedeng’ itu diucapkan. Adakah moment-moment khusus istilah tersebut diucapkan? 

Sekurang-kurangnya, orang Manggarai menggunakan kiasan atau goe't ‘Wae Teku Tedeng’ pada saat urusan adat yang dimana pihak keluarga mempelai (pria, wanita) bertemu untuk membahas (baca; menyelesaikan)  ‘urusan adat’ dari sepasang suami istri, ataupun calon suami istri

Pada fase seperti ini, biasanya pihak ‘anak rona’ (keluarga wanita, pemberi anak/ family giver) meminta belis (mahar) kepada pihak ‘anak wina atau woe’ (keluarga pria, penerima anak/family receiver) melalui ‘tongka’ (juru bicara) dihari yang sudah ditentukan sebelumnya 

Bilamana belis yang diminta oleh pihak anak rona kepada anak wina dipasang dengan nilai tinggi. Maka pihak anak anak wina, berhak untuk menegosiai harga yang diminta dan disesuaikan dengan keadaan pihak anak wina itu sendiri. 

Pada momen seperti ini biasanya, situasi agak panas. Karena yang diuji seperti kemampuan finansial pihak anak wina, kemampuan juru bicara dalam proses negosiasi, permintaan kedua orang tua yang bersangkutan dan urusan lainnya

Jika pada proses negosiasi belum ada titik temu, maka juru bicara (tongka) dari pihak anak wina, bernegosiasi dengan konsep ‘filosofi air’. Artinya keluarga itu dianalogikan seperti sumber mata air yang selalu mengalir tanpa henti. Tidak seperti ‘air tuak; wae tuak’ yang sewaktu-waktu akan cepat habis

Pada titik ini (harapan), yang dibutuhkan adalah belas kasihan dari pihak anak rona (keluarga wanita). Pihak anak wina (keluarga pria) sangat menyadari bahwa, keluarga jauh lebih penting daripada belis. Jangan sampai masalah belis hubungan pasangan suami, istri, yang dikorbankan

Demi keharmonisan keluarga, tentunya pihak anak rona akan menerima permohonan dari anak wina dengan ‘persyaratan tertentu’. Dan semuanya tersirat dalam aneka goe’t yang ada di “Wae Teku Tedeng”

Fenomena belis di Manggarai, menjadi bahan guyonan, bahan diskusi informal. Bahkan ada yang meneliti tentang belis di Manggarai dan dimuat di journal karya tulis ilmiah

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline